A.
Latar Belakang
Seiring
dengan kemajuan budaya dan iptek, perilaku manusia di dalam hidup bermasyarakat
dan bernegara justru semakin kompleks dan bahkan multikompleks. Perilaku
demikian apabila ditinjau dari segi hukum tentunya ada perilaku yang dapat
dikategorikan sesuai dengan norma dan ada perilaku yang tidak sesuai dengan
norma. Terhadap perilaku yang sesuai norma (hukum) yang berlaku, tidak menjadi
masalah. Sedangkan terhadap perilaku yang tidak sesuai norma biasanya dapat
menimbulkan permasalahan di bidang hukum dan merugikan masyarakat. Perilaku
yang tidak sesuai norma atau dapat disebut sebagai penyelewengan terhadap norma
yang telah disepakati ternyata menyebabkan terganggunya ketertiban dan
ketentraman kehidupan manusia. Penyelewengan yang demikian, biasanya oleh
masyarakat dicap sebagai suatu pelanggaran dan bahkan sebagai suatu kejahatan.
Kejahatan
dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh
setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan
bahwa kejahatan hanya dapat dicegah dan dikurangi, tetapi sulit diberantas
secara. Tidak ada satu negarapun yang sunyi dari kejahatan, baik negara yang
sudah berkembang ataupun negara yang sedang berkembang. Namun demikian tidak
berarti bahwa terhadap kejahatan tidak perlu diusahakan penanggulangannya.
Menurut
Andi Hamzah : “Kejahatan
terjadi di setiap ruang, tempat, waktu dan bangsa. Ia merupakan fenomena
kehidupan manusia. Usaha yang dapat dilakukan hanyalah melakukan usaha-usaha
yang dapat mencegah dan mengurangi kejahatan dalam masyarakat. Salah satu cara
untuk menanggulangi kejahatan ialah dengan hukum pidana”.[1]
Menurut Pasal 1 angka (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menyebutkan bahwa : “Negara Indonesia adalah Negara
hukum”. Sebagai negara hukum
tentunya segala sesuatunya harus berlandaskan hukum, baik dalam hubungan antar
lembaga negara yang satu dengan yang lain, pemerintah dengan rakyat, dan
hubungan antara rakyat dengan rakyat.
Ketentuan tersebut di atas, lebih lanjut ditegaskan dalam
penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 bahwa
Negara Indonesia adalah negara hukum (Rechsstaat)
bukan negara kekuasaan (Machstaat).
Hal ini membawa konsekuensi bahwa negara termasuk di dalamnya pemerintah dan
lembaga-lembaga negara yang lain dalam melaksanakan tindakan apapun harus
dipertanggungjawabkan secara hukum, karena itu setiap tindakan harus
berdasarkan hukum. Sehingga konsekuensi dari negara hukum adalah hukum sebagai
panglima yang memandang siapapun, baik dari kalangan pejabat, pengusaha, maupun
rakyat biasa mempunyai hak dan kedudukan yang sama dihadapan hukum.
Mohammad Kusnardi dan Bintan
Saragih berpendapat bahwa :
Negara hukum menentukan alat-alat perlengkapannya bertindak menurut dan
terikat kepada peraturan-peraturan yang ditentukan terlebih dahulu oleh
alat-alat perlengkapan yang dikuasakan untuk mengadakan peraturan-peraturan
itu. Adapun ciri-ciri khas bagi suatu negara hukum adalah :
1.
Pengakuan dan perlindungan atas
hak-hak asasi manusia.
2.
Peradilan yang bebas dari
pengaruh sesuatu kekuasaan atau kekuatan lain dan tidak memihak.
3.
Legalitas dalam arti hukum dalam
segala bentuknya.[2]
Mengingat
secara pidana,
dalam suatu proses perkara pidana seorang tersangka atau terdakwa akan
berhadapan dengan negara melalui aparatur-aparaturnya, yang oleh Van Bammelen
digambarkan seakan-akan merupakan suatu pertarungan, sehingga beliau mengatakan : “Garansi hak-hak asasi
manusia harus diperkuat, karena kalau tidak maka akan terjadi ketimpangan
sesuai dengan peranan hakim yang aktif maka yang pertama-tama harus ditonjolkan
adalah hak-hak asasi manusia”.[3]
Menurut
pernyataan Erni Wijayanti : “Adanya
jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak manusia dalam peraturan hukum acara
pidana mempunyai arti yang sangat penting sekali, karena sebagian besar dalam
rangkaiaan proses dari hukum acara pidana ini menjurus kepada pembatasan-pembatasan hak-hak manusia
seperti penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan dan penghukuman yang
pada hakekatnya adalah pembatasan-pembatasan hak-hak manusia”[4] Walaupun sudah ada
jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak manusia yang dalam bentuk
perlindungan hukum terhadap hak-hak tersangka, namun belum sepenuhnya
dilaksanakan, tidak terkecuali dalam bidang penegakan hukum itu sendiri.
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak
hanya memuat ketentuan tentang tata cara dari suatu proses pidana, melainkan mengatur pula bahwa seseorang
yang diduga atau disangka terlibat dalam suatu tindak pidana, tetap mempunyai
hak-hak yang wajib di junjung tinggi dan dilindungi. KUHAP telah memberikan
perlindungan hak-hak tersangka dengan menempatkan seseorang yang telah disangka
melakukan tindak pidana, kedudukanya dianggap sama dengan orang lain menurut
hukum. Dengan adanya perlindungan dan pengakuan hak-hak yang melekat pada diri
tersangka, maka dapat memberikan jaminan yang menghindarkan tersangka dari
tindakan sewenang-wenang penyidik dalam proses penyidikan.
Dalam
butir 2 penjelasan umum KUHAP menjelaskan, bahwa pembangunan di bidang hukum
acara pidana bertujuan agar masyarakat dapat menghayati hak dan kewajibanya,
serta dapat ditingkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai
dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegak dan mantapnya hukum,
keadilan, dan perlindungan yang merupakan pengayoman terhadap keluhuran harkat
serta martabat manusia, juga ketertiban dan kepastian hukum demi tegaknya
Republik Indonesia sebagai negara hukum sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
Secara
umum fungsi KUHAP
adalah untuk membatasi kekuasaan negara dalam melindungi setiap warga
masyarakat yang terlibat dalam proses peradilan pidana, sehingga diharapkan
terjamin perlindungan para tersangka dari tindakan aparat penegak hukum dan
pengadilan. Dengan demikian, hukum yang sama memberikan pula
pembatasan-pembatasan terhadap hak asasi warganya. Dengan kata lain, hukum
acara pidana adalah alat yang memberi kekuasaan terutama kepada penegak hukum
yang juga sekaligus alat hukum untuk membatasi wewenang kekuasaan tersebut.
Menurut Pasal 1 angka (1)
KUHP menyebutkan bahwa
:
”Tiada
suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam
perundangundangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”.
Ketentuan tersebut kemudian ditegaskan dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang merupakan
salah satu sumber hukum acara pidana, terdapat suatu asas fundamental yang
sangat berkaitan dengan hak-hak tersangka yaitu asas praduga tak bersalah yang
berbunyi : “Setiap
orang yang disangka, ditangkap, dituntut, dan atau dihadapkan di muka
pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum diadakan putusan yang
menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Bersumber pada
asas praduga tak bersalah maka jelas dan sewajarnya bahwa tersangka atau terdakwa
dalam proses peradilan pidana wajib mendapatkan hak-haknya (bahwa setiap orang
yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan /atau
dihadapkan di depan Pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya
putusan Pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan
hukum tetap).[5]
Sebagai
seorang yang belum dinyatakan bersalah maka tersangka
atau terdakwa mempunyai sekian hak yang dijamin oleh KUHAP. Di antara beberapa hak tersangka
atau terdakwa yang diatur oleh KUHAP, terdapat hak-hak yang sangat
penting, yang minimal harus ada dalam suatu hukum acara modern, yaitu hak
untuk mendapatkan bantuan hukum, sebagai implementasi dari prinsip
counsel. Prinsip ini adalah salah satu prinsip yang harus ada dalam suatu sistem peradilan pidana yang berlandaskan Due Process of
Law (Proses hukum yang adil).
Dalam
praktek ada beberapa isu yang muncul terkait dengan hak atas bantuan hukum
tersebut. Misalnya seringnya dalam Berita Acara Pemeriksaan Tersangka di
tingkat penyidikan selalu ada formulasi pertanyaan tentang apakah tersangka
atau terdakwa akan menggunakan hak untuk didampingi Pengacara dan Penasehat
Hukum. Sering pula ditemui
munculnya Surat Penolakan Didampingi Advokat dan Berita Acara Penolakan
Didampingi Advokat.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian latar
belakang, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1.
Apa akibat
hukum dari penolakan pemberian bantuan
hukum dari tersangka atau terdakwa yang tidak mampu
?
2.
Apa alasan dan
latar belakang penolakan pemberian bantuan hukum dari tersangka atau terdakwa ?
C.
Landasan Teori
“Tersangka
adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti
permulaan patut diduga sebagai tindak pidana, Terdakwa adalah seorang tersangka
yang dituntut, diperiksa dan diadili disidang pengadilan”.[6] Pengertian
tersangka sering disalahartikan oleh kebanyakan masyarakat Indonesia, bahwa
seolah-olah tersangka itu sudah pasti bersalah. Padahal yang berhak menentukan
bersalah atau tidaknya adalah pengadilan, dengan adanya putusan dari pengadilan
yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Tersangka
atau terdakwa mempunyai hak-hak sejak ia mulai diperiksa, sebagaimana
dijelaskan dalam Pasal 52 KUHAP, yang menyebutkan bahwa : “Dalam pemeriksaan
pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan
keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim”.[7]
Dalam
penjelasan pasal itu, jelas yang dimaksud yaitu tersangka atau terdakwa tidak
boleh dipaksa atau ditekan. Penjelasan tersebut dimaksudkan agar pemeriksaan
mencapai hasil yang tidak menyimpang dari yang sebenarnya maka tersangka atau
terdakwa harus dijauhkan dari rasa takut. Oleh karena itu wajib dicegah adanya
paksaan atau tekanan terhadap tersangka atau terdakwa.
Mengenai jaminan pelaksanaan
Pasal 52 KUHAP tersebut, tidak ada sanksinya. Satu-satunya jaminan
untuk tegaknya ketentuan Pasal 52 KUHAP ialah melalui Praperadilan, berupa
pengajuan gugatan ganti rugi atas alasan pemeriksaan-pemeriksaan
telah dilakukan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang. Akan tetapi, hal
ini kurang efektif karena sangat sulit bagi seorang tersangka membuktikan
keterangan yang diberikan dalam pemeriksaan adalah hasil paksaan dan
tekanan.
Betapa pentingnya arti bantuan hukum,
khususnya bagi masyarakat miskin yang sedang berhadapan dengan masalah hukum.
Tanpa adanya bantuan hukum (pendampingan dalam proses peradilan) maka sangat
rentan terjadi pelanggaran terhadap hak-hak seseorang yang telah dijamin oleh
undang-undang.
Pengertian bantuan hukum,
diatur dan dijelaskan dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011
Tentang Bantuan Hukum (Selanjutnya disebut Undang-Undang Bantuan Hukum,
menyebutkan bahwa : “Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh
Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum”.
Hak tersangka atau terdakwa
untuk mendapatkan bantuan hukum, juga diatur dan dijelaskan dalam Pasal 55 dan
Pasal 56 KUHAP. Menurut Pasal 55 KUHAP, menyebutkan bahwa : “Untuk mendapatkan penasihat
hukum tersebut dalam Pasal 54, tersangka atau terdakwa berhak memilih sendiri
penasihat hukumnya.
Menurut
Pasal 56 KUHAP, menyebutkan bahwa :
1. Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau
didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman
pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang
diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat
hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam
proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.
2. Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk
bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan
cuma-cuma.
Dari
pemaparan kedua pasal dalam KUHAP di atas dapat diketahui bahwa:
1. Bantuan hukum merupakan hak-hak
dari tersangka atau terdakwa guna kepentingan pembelaan, jaminan perlindungan
dan kepastian hukum serta keadilan dan perlakuan yang sama di hadapan hukum
2. Bantuan hukum dapat diberikan
mulai dari tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan dan
pelaksanaan putusan.
Ketentuan
inilah yang mengisyaratkan perlu adanya bantuan hukum yang diberikan kepada
tersangka khususnya pada proses tingkat penyidikan, apalagi bagi mereka yang
berasal dari keluarga yang tidak mampu.
Secara
yuridis, bantuan hukum merupakan pemberian jasa hukum yang diberikan oleh
advokat secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu sesuai Pasal 1 ayat (9)
Undang-Undang No 18 Tahun 2003 Tentang Advokat (Selanjutnya disebut
Undang-Undang Advokat). Pasal ini menekankan kepada pejabat yang bersangkutan
untuk menyediakan penasehat hukum bagi seseorang yang diduga melakukan
kejahatan yang ancaman pidananya 15 (lima belas) tahun atau lebih atau bagi
mereka yang tidak mampu diancam 5 ( lima) tahun atau lebih.
Hak atas bantuan hukum juga diatur dalam
Pasal 56 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman (Selanjutnya disebut
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman), yang menyebutkan bahwa :
1.
Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.
2.
Negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu.
Disini jelas bahwa pemberian bantuan
hukum itu sangat penting diperhatikan karna banyak aspek aspek khususnya dalam
hal bantuan hukum ini yang sampai sekarang belum terpenuhi seperti yang di
cita-citakan oleh undang-undang sebgaimana yang di jelaskan di atas.
Pemberian bantuan hukum dalam rangka
perlindungan hak-hak masyarakat khususnya tersangka atau terdakwa adalah
merupakan hak dasar masyarakat, yang apabila tidak dipenuhi maka ini merupakan
diskriminasi terhadap hak-hak dasar tersebut, karna diskriminasi merupakan
suatu bentuk ketidakadilan di berbagai bidang yang secara tegas dilarang
berdasarkan UUD 1945.
Dan hak untuk mendapat bantuan hukum (access to legal counsel) adalah hak
asasi manusia yang sangat mendasar bagi setiap orang dan oleh karena itu
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh keadilan bagi semua orang.
Bagi kalangan yang memiliki kemampuan secara ekonomi dapat menunjuk advokat jika dibutuhkan untuk membela kepentingannya. Sedangkan bagi kalangan miskin (the poor) yang tidak memiliki kemampuan secara ekonomi tidak dapat menunjuk advokat sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok yang memiliki kemampuan secara ekonomi.
Bagi kalangan yang memiliki kemampuan secara ekonomi dapat menunjuk advokat jika dibutuhkan untuk membela kepentingannya. Sedangkan bagi kalangan miskin (the poor) yang tidak memiliki kemampuan secara ekonomi tidak dapat menunjuk advokat sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok yang memiliki kemampuan secara ekonomi.
[1] Andi Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan
Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, Akademika Pressiondo, Jakarta,
1983, hal. 10.
[2] Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum
Pidana dan Acara Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, hal 13.
[3] Erni Widhayanti, Hak-Hak
Tersangka / Terdakawa di Dalam KUHAP, Liberty, Yogyakarta, 1998, hal. 34.
[4] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar