A.
LATAR
BELAKANG MASALAH
Setiap
hari kita pasti sering mendengar pemberitaan melalui media massa baik cetak
maupun elektronik, yang selalu diwarnai dengan banyaknya kejahatan dan aksi
kekerasan, misalnya saja pembunuhan, pencurian, penipuan, pemerkosaan, dan lain
sebagainya. Kata perkosaan tentu terbayang kengerian yang sangat ditakuti bagi
kaum wanita. Oleh karena itu perkosaan diklasifikasikan sebagai salah satu
bentuk kejahatan yang sangat serius di Indonesia bahkan di dunia dan bagi
pelakunya diancam dengan sanksi pidana yang tidak ringan.
Tindak
pidana perkosaan merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang
merupakan contoh kerentanan posisi perempuan tersebut, utamanya terhadap
kepentingan seksual laki-laki. Citra
seksual perempuan yang telah ditempatkan sebagai obyek seksual laki-laki,
ternyata berimplikasi jauh pada kehidupan perempuan, sehingga dia terpaksa harus selalu menghadapi
kekerasan, pemaksaan dan penyiksaan
secara fisik serta psikis. Permasalahan
dan tujuan penelitian yang diambil antara lain: mengetahui tinjauan viktimologi
terhadap ganti rugi korban tindak pidana perkosaan dan mengetahui perlakuan dan
perlindungan hukum terhadap korban
selama proses peradilan
pidana pada kasus tindak pidana perkosaan.
Pada
31 Desembar 1981 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 yang lazim
disebut Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). KUHAP dinilai sebagai salah
satu produk hukum bangsa Indonesia yang mempunyai predikat sebagai “karya agung”
dimana KUHAP sangat memperhatikan hak-hak seorang yang tersangkut tindak
pidana, mulai dari proses penyidikan, pemeriksaan di depan pengadilan,
penjatuhan hukuman sampai pasca persidangan yaitu pelaksanaan putusan.
Karenanya tidak mengherankan jika KUHAP dinilai sangat concern terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Syaratnya muatan hak-hak seseorang
yang tersangkut tindak pidana, ternyata tidak diimbangi dengan perhatian pada
hak-hak korban kejahatan.
Pasal
285 KUHP mengatur soal tindak pidana perkosaan. Dalam pasal tersebut ditegaskan
bahwa barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang
wanita bersetubuh dengan dia diluar pernikahan, diancam karena telah melakukan
nperkosaan dengan pidana penjara selama-lamanya dua bela tahun.
Dengan
demikian dapat diketahui bahwa perkosaan menurut kontruksi yuridis peraturan
perundang-undangan di Indonesia (KUHP) adalah perbuatan memaksa seorang wanita
yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan.
Dari
uraian tersebut, dapat kita ketahui bahwa secara yuridis formal perkosaan
didefinisikan sebagai sebuah kejahatan yang membawa dampak buruk bagi siapapun
yang mengalaminya. Ancaman pidana berat bagi pelakunya dimaksudkan agar Negara
memiliki kesempatan untuk memperbaiki sikap dan perilaku terpidana agar tidak
berbahaya lagi dan hidup normal didalam lingkungan masyarakat serta member
peringatan kepada masyarakat lain agar tidak melakukan perbuatan serupa.
Korban
perkosaan sering kali menjadi korban ganda. Ia sudah menderita karena perkosaan
yang dialaminya, tetapi ia juga mendapat tekanan dari masyarakat sekitarnya
serta dipandang sebagai wanita yang tidak lagi pantas untuk tinggal bersama-sama
dengan masyarakat sebab sudah membawa aib bagi dirinya, keluarganya, dan
lingkungan sekitarnya. Hal inilah yang menunjukkan bahwa mayarakat sendiri
belum memperlihatkan indikasi untuk mewujudkan suasana yang kondusif bagi
penyelesaian kasus – kasus perkosaan. Pandangan masyarakat yang seperti itu
harus segera diluruskan.
“Dalam
proses persidangan di pengadilan terhadap tindak pidana perkosaan, meskipun
sipemerkosa sudah di jatuhi pidana sesuai dengan aturan hukum yang berlaku,
tidak serta merta menjamin pulihnya keadaan korban. Dalam kedudukannya sebagai
seorang korban, selain mendapat perhatian dari pemerintah dan kepedulian dari
masyarakat, korban perkosaan juga berhak mendapatkan kompensasi maupun
restitusi”[1]
“Kompensasi
adalah semacam ganti rugi (secara materil) dari pelaku perkosaan terhadap
korbannya. Jika perhatian dari pemerintah dan kepedulian dari masyarakat itu
sifatnya in materil, namun untuk kompensasi yang diberikan pelaku korban perkosaan
lebih bersifat materil Karena tidak mungkin pelaku korban perkosaan mengganti
kerugian in materil berupa harga diri korban yang diinjak-injaknya”[2]
Kompensasi
dari pelaku perkosaan terhadap korban perkosaan sebenarnya sudah diatur dalam
KUHP maupun KUHAP
Pasal
14 c ayat (1) KUHP menyatakan :
Dalam
perintah yang dimaksud dalam Pasal 14.a. kecuali jika dijatuhkan denda, selain
menetapkan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan perbuatan pidana,
hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang
lebih pendek dari pada masa percobaannya harus mengganti segala atau sebagian
kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan pidana tadi.
Dari
kedua rumusan Pasal tersebut di atas, diperoleh kesimpulan bahwa jika sipelaku
perkosan hanya dipidana percobaan oleh hakim, maka hakim dapat pula
memerintahkan terpidana untuk memberi ganti kerugian kepada si korban.
Ketentuan
lain yang mengatur kompensasi adalah Pasal 98 ayat (1) KUHP, yang menyatakan
bahwa jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu
pemeriksaan perkara pidana oleh Pengadilan Negeri menimbulkan kerugian bagi
orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan
untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana tersebut.
Pertanyaan
yang kemudian muncul adalah apakah hak-hak korban tindak pidana perkosaan
sebagai dasar pertimbangan hakim dalam memutus pelaku tindak pidana perkosaan dan
apakah ada perlindungan hukum yang diberikan pemerintah kepada si korban? dan bagaimana
perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana perkosaan itu ? pertanyaan ini
selalu menjadi tanda tanya besar dalam pemikiran penulis, oleh karena itu
penulis hendak mengkaji pada tindak pidana perkosaan dengan mengambil topik :
Tinjauan Viktimologi Terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan Di Wilayah Hukum
Kota Yogyakarta. Penulis ingin mengangkat topik ini.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan
latar belakang masalah diatas, maka dirumukan masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana Perlindungan
Hukum terhadap korban Tindak Pidana Perkosan ?
2.
Apakah hak-hak Korban Tindak
Pidana Perkosaan menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam memutus Pelaku Tindak
Pidana Perkosaan.
C.
TINJAUAN
PUSTAKA / LANDASAN TEORI
Istilah
hukum berasal dari bahasa arab huk`mun, artinya
menetapkan. Singkatnya hukum diartikan
sebagai peraturan atau undang–undang, kaidah dan ketentun, serta keputusan
pengadilan.
Dalam kehidupan
sehari-hari hukum dikatakan sebagai berikut :
1.
Menetapkan perbuatan yang diperbolehkan,
dilarang, dan disuruh.
Contoh
: Seorang Hakim dalam memutus suatu perkara pidana boleh memilih pidana mati,
pidana seumur hidup, atau pidana penjara selama waktu tertentu ( pasal 12 ayat
3 KUHP ).
2.
Norma yang menggolongkan peristiwa atau
kenyataan tertentu menjadi peristiwa atau
kenyataan yang memiliki akibat hukum.
Contoh
: Seorang yang mengambil sepeda motor miliknya ditempat parkir tidak
menimbulkan akibat hukum. Namun, seseorang yang mengambil sepeda motor milik orang lain
mempunyai akibat hukum pidana bagi orang tersebut.”[3]
Negara yang berdasarkan
hukum memiliki empat asas, yakni:
1.
Perlindungan hak asasi manusia (HAM)
2.
Pembagian kekuasaan
3.
Pemerintahan berdasarkan undang-undang
(UU)
4.
Peradilan Tata Usaha Negara ( PTUN).
Tujuan dari pada
hukum adalah mencapai suatu keadaan hidup yang penuh dengan kedamaian.
Kedamaian merupakan suatu keadaan yang serasi antara ketertipan dengan
ketentraman yang masing-masing menyangkut kepentingan umum dan kepentingan
pribadi. Untk mencapai tujuan hukum tersebut, diperlukan suatu bentuk konsep
hukum yang memiliki tugas-tugas dengan jelas di dalamnya. Tugas dari hukum
antara lain yaitu :
1.
Tercapainya ketertipan. Ketertipan akan
tercapai apabila tugas hukum untuk mencapai kepastian hukum sudah tercapai
2.
Kesebandingan hukum atau keadilan
3.
Hukum sebagai suatu sarana pengendalian
social dan juga sarana untuk memperlancar proses interaksi social.
Sistem hukum
dapat dipahami dalam pengertian sebagai berikut :
1.
Sebagai kesatuan dari komponen atau
unsur (subsistem) : Hukum materiil dan hukum formil, hukum perdata dan hukum
publik
2.
Sebagai kesatuan dari komponen-komponen
yang terdiri dari :
a.
Struktur
hukum, yaitu kerangka yang memberi bentuk dan batasan pada system hukum
yang unsur–unsurnya adalah eksekutif, legislative, dan yudikatif.
b.
Subtansi hukum, yaitu aturan, norma, dan
perbuatan manusia yang nyata.
Contohnya : aturan tentang pemakaian helm
c.
Budaya hukum, yang tampak dalam
kepercayaan, kepemilikan dan harapan.
Contohnya : Budaya uang pelicin yang melanggar
hukum, budaya orang Amerika Serikat yang lebih memilih berperkara di
pengadilan, sebaliknya orang cina dan jepang memiliki budaya malu bila
perkaranya disidangkan di pengadilan”.[4]
“Fungsi
hukum menurut Roscoe Pound adalah bahwa hukum berfungsi sebagai sarana untuk
menata masyarakat dan sarana pengendali sosial, yang pada dasarnya mengikuti
dan mengesahkan perubahan yang terjadi. Jadi dengan demikian hukum sebenarnya
harus dapat menciptakan perubahan sehingga akan dapat menata kembali masyarakat
menuju kearah kebaikkan dari sebelumnya.”[5]
Perilaku
berlakunya kaidah hukum dibedakan menjadi tiga, yaitu :
a.
Hal berlakunya secara yuridis, yaitu
pada intinya adalah bahwa hukum sebagai kaidah berlaku (sah) apabila terbentuk
menurut cara yang telah ditentukan.
b.
Hal berlakunya hukum secara sosiologis,
yaitu berintikan pada efektifitas hukum dalam masyarakat.
c.
Hal berlakunya hukum secara filosofis,
yaitu hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang
tinggi. [6]
Dalam
penegakan hukum sering dipertanyakan tentang siapa yang harus dilindungi dari
siapa. Pertanyaan ini secara mudah dapat dijawab yakni untuk melindungi
masyarakat (korban) dari kejahatan (panjahat).
“Maka
inti dari penegakan hukum pada pokoknya adalah merupakan kegiatan menserasikan
hubungan nilai-nilai yang dijabarkan dalam kaidah-kidah yang mantap dan
perilaku sebagai penjabaran nilai akhir untuk menciptakan, memelihara, dan
mempertahankan kedamaian pergaulan hidup”.[7]
Dari
aspek hukuman opini masyarakat yang tersurat maupun yang tersirat, perkosaan
merupakan kejahatan berat, walaupun merupakan kejahatan berat para korban
perkosaan masih merasakan minimnya perlindungan dari sistem peradilan, sehingga
masalah jaminan hak-hak korban perkosaan mengemuka karena sistem hukum kita
belum komprehensif melegitimasi hak-hak tersebut dalam hukum positif.
“Dalam
resolusi sidang umum PBB No 40 / 34, tanggal 11 Desember 1985 “ Decleration on the basic principle of
justice for victim of crime and abuse of power” yang diadakan di Milan,
Italia, 1985 merupakan dasar pijakan bagi perlindungan korban kejahatan dalam
skala umum”.[8]
Sementara
itu Deklarasi PBB yang khusus mengatur tentang perlindungan korban perkosaan
sepanjang masih berupa kerangka dinamika draft
declaration of right of victim of rape. Di dalam draft tersebut
dilegitimasi hak-hak korban perkosaan sebagai berikut :
a.
The
right to the restitution from offender
b.
The
right to compensation from the government.
c.
The
right to medical, social and material assistance.
d.
The
right to assistance in distress
e.
The
right to have views presented and considered whenever personal interest are
affected.
f.
The
right to be protection from intimidation
g.
The
right to be informated of victim rightsDari deklarasi
PBB tentang The basic principle of justice for victim of crime and abuse of power
and draf declaration of right of victims of rape terdapat hak restitusi,
dalam hal ini ganti rugi yang harus diberikan oleh terdakwa. Jika dipandang
tidak mencukupi, Negara dapat memberikan kompensasi (santunan) .[9]
Sejalan dengan
itu, Pasal 14.a. ayat ( 1 ) KUHP
menyatakan :
Apabila hukum
menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun kurungan tidak termasuk
kurungan pengganti, maka dalam putusannya dapat memerintahkan pula bahwa pidana
tidak usah dijalankan, kecuali jika dikemudian hari ada putusan hakim yang
menentukan lain, disebabkan karena terpidana melakukan suatu perbuatan pidana
sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut diatas habis,
atau karena terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan dalam peristiwa itu.
Sedangkan dalam
Pasal 14.c ayat (1) menyatakan :
Dalam perintah
yang dimaksud dalam pasal 14.a. kecuali jika dijatuhkan denda, selain
menetapkan syarat umam bahwa terpidana tidak akan melakukan perbuatan pidana,
hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang
lebih pendek dari pada masa percobaannya harus mengganti segala atau sebagian
kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan pidana tadi.
Sementara Pasal
98 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa jika suatu perbuatan yang menjadi dasar
dakwaan didalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh Pengadilan Negeri
menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan
orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian
kepada perkara pidana tersebut.
Kiranya
hakim kita mulai dapat melakukan langkah innovative dengan mempertimbangkan hak-hak
korban tindak pidan perkosaan sebagai dasar dalam memutus pelaku tindak pidana
perkosaan dan menerapkan aspek ganti rugi baik dalam bentuk restitusi maupun
kompensasi sebagai bagian dari sanksi pidana. Langkah inovatif ini penting
mengingat hukum positif kita tidak mengatur secara jelas masalah ganti rugi
bagi korban.
a.
Yang dimaksud dengan
yuridis formal
“Adalah
peraturan perundang–undangan yang berlaku umum selain hukum acara, misalnya
KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Sebab ada istilah yuridis materiil untuk
menyebut seperangkat peraturan perundang–undangan yang mengatur cara–cara
beracara di pengadilan (hukum acara) misalnya KUHAP (Kitab undang–undang Hukum
Acara Pidana).”[10]
b.
Perlindungan Hukum
“Yaitu adanya jaminan hak dan
kewajiban manusia baik dalam rangka memenuhi kebutuhan sendiri maupun di dalam
hubungan dengan manusia lain”[11].
c.
Kejahatan perkosaan
Yaitu perilaku menyimpang yang merugikan kehidupan
sosial (social injury) atau perilaku yang
bertentangan dengan ikatan–ikatan sosial lain (antisocial) atau perilaku yang tidak sesuai dengan pedoman
masyarakat. Sehingga kejahatan perkosaan adalah perilaku yang merugikan
kehidupan sosial (social injury) atau
perilaku yang bertentangan dengan ikatan –ikatan sosial lain (anti social) karena adanya usaha untuk
melampiaskan nafsu seksual.”[12]
d.
Korban Kejahatan
Perkosaan
“Korban kejahatan adalah mereka
yang menderita fisik, mental, sosial, sebagai tindakan jahat mereka yang mau
memenuhi kepentingan diri sendiri atau pihak yang menderita.”[13]
”Ditinjau
dari segi bahasa, kata perkosaan menurut kamus umum Bahasa Indonesia berasal
dari kata “perkasa” yang berarti : paksa, kekerasan, kuat, perkasa, dengan
kekerasan. Dengan demikian pemerkosaan berarti proses cara : perbuatan
memperkosa ataupun pelanggaran dengan kekerasan”[14].
Jadi yang dimaksud dengan korban kejahatan perkosaan adalah mereka yang
menderita fisik, mental, sosial, sebagai akibat dari tindakan memperkosa atau
perbuatan memperkosa.
[1] Suryono Ekotama Harum
Pudjiarto et all, Abortus propocatus Bagi
Korban Perkosaan perspektif Viktimologi, Kriminologi dan Hukum Pidana. Liberty,
Yogyakarta,2000, hal 44
[2] Ibid
[3] Panduan Bantuan Hukum Di Indonesia Edisi 2009, Pengertian Hukum.
YLBHI, Jakarta, 2009, Hal 2
[4] Ibid
[5] Ibid, hlm 19
[6] Ibid, hlm 25
[7] Ibid, hlm 28
[8] Surya, Nomor 261
Tahun X, 1 Agustus 1996
[9] Ibid, hlm 7.
[10] Panduan Bantuan Hukum Di Indonesia Edisi 2009, Pengertian Hukum.
YLBHI, Jakarta, 2009, Hal 6
[11] Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm, 102
[12] Perkosaan perspektif Viktimologi, Kriminologi Dan Hukum Pidana., Yogyakarta 2001
[13] Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika
Presindo, Jakarta, 1983, hlm 79.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar