A.
Latar Belakang
Kejahatan sejak dahulu hingga
sekarang selalu mendapatkan sorotan, baik itu dari kalangan pemerintah maupun
dari masyarakat itu sendiri. Persoalan kejahatan bukanlah merupakan persoalan
yang sederhana terutama dalam masyarakat yang sedang mengalami perkembangan
seperti Indonesia.
Melalui berbagai media masa dapat
diketahui hampir setiap hari terjadi kejahatan dengan berbagai jenisnya.
Demikian pula dengan pelaku kejahatan sendiri, siapapun dapat menjadi pelaku
dari kejahatan, apakah pelakunya masih anak-anak, orang yang berusia lanjut
baik laki-laki ataupun perempuan. Jadi, tanpa memandang usia atau jenis kelamin
meskipun pada kenyataannya jumlah kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak
relatif kecil, namun tidak dapat dipungkiri bahwa kejahatan yang dilakukan anak
tersebut terjadi dimana-mana. Seperti tindak pidana pemerkosaan yang dilakukan
oleh anak di bawah umur. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh berbagai faktor
antara lain adanya pengaruh lingkungan yang tidak baik, bacaan-bacaan yang
berbau porno, gambar-gambar porno, film dan VCD prono yang banyak beredar di
masyarakat. Beredarnya buku bacaan, gambar, film dan VCD porno tersebut dapat
menimbulkan rangsangan dan pengaruh bagi yang membaca dan melihatnya.
Pengertian anak di bawah umur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 KUHP adalah orang yang belum dewasa, yang
belum mencapai usia 16 (enam belas) tahun, Sedangkan menurut Pasal 1 ayat 1 UU
Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak disebutkan bahwa anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal
telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan
belas) tahun dan belum pernah kawin.
Dalam rangka penegakan hukum, Polri melakukan tugas-tugas penyidikan
tindak pidana yang diemban oleh penyidik atau penyidik pembantu baik oleh
fungsi Reserse maupun fungsi operasional Polri yang lain dari PPNS yang diberi
wewenang untuk melakukan penyidikan secara profesional.
Sehubungan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh anak di bawah umur
maka setelah ditangkap,
terhadapnya dilakukan pemeriksaan, berdasarkan ketentuan Pasal 42 Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 pemeriksaan dapat dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut
:
- Penyidik
wajib memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan;
- Dalam
melakukan penyidikan terhadap anak yang melakukan tindak pidana penyidik
wajib meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing masyarakat, dan
apabila perlu juga dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli
pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas kemasyarakatan
lainnya.
- Proses
penyidikan terhadap perkara anak nakal wajib dirahasiakan.
Sebagaimana pernah
dimuat di media massa tentang beberapa kasus yang dilakukan oleh anak di bawah
umur serta perlakuan dari aparat penegak hukum. Sebagaimana, pada tahun 2006
yang terangkat kepermukaan adalah kasus Raju yang menganiaya temannya. Raju
yang baru berusia 8 tahun ini ditahan selama 19 hari untuk menjalani proses
hukum yang menimbulkan trauma pada dirinya dan pada tanggal 29 Mei 2009, diberitakan
oleh Kompas.com tentang penangkapan yang dilakukan oleh Kepolisian Resort Metro
Bandara Soekarno-Hatta terhadap 10 (sepuluh) orang anak yang saat itu bermain
judi dengan taruhan Rp 1.000 per anak di kawasan bandara. Ke-10 (sepuluh) anak
tersebut rata-rata masih berusia 10 sampai dengan 16 tahun. Sebagian besar dari
mereka adalah pelajar SD Negeri Rawa Rengas yang sehari-hari bekerja sebagai
penyemir sepatu di kawasan Bandara Soekarno-Hatta. Contoh
lain di Bandar Lampung bahwa pada tahap penyidikan, sebagian besar anak
ditahan dan ditempatkan bersama-sama dengan orang dewasa dalam sel tahanan.
Pemeriksaan oleh penyidik juga tidak dalam suasana kekeluargaan, dan hak untuk
mendapat bantuan hukum tidak diberitahukan kepada anak yang diperiksa oleh penyidik.
Keberadaan anak-anak dalam tempat penahanan dan
pemenjaraan bersama orang-orang yang lebih dewasa, menempatkan anak pada
situasi rawan dan menjadi korban berbagai tindak kekerasan. Penangkapan,
penahanan, dan pemenjaraan anak seharusnya menjadi pilihan terakhir dari aparat
penegak hukum terkait sebagaimana diamanatkan UU Pengadilan Anak maupun UU
Perlindungan Anak. Akan tetapi, realita menunjukkan antara law in book
(teori) dengan law in action (praktek) kerap terjadi kesenjangan di
negeri ini. Bahkan, penerapan hukum sering dirasakan oleh si lemah begitu
keras, kaku, dan salah kaprah.[1]
Hasil sementara studi menunjukan anak-anak konflik
hukum memperoleh perlakuan yang buruk bahkan dalam beberapa hal telah
diperlakukan lebih buruk bila dibandingkan dengan orang dewasa yang berada
dalam situasi yang sama. Mayoritas dari anak konflik hukum mengaku telah
mengalami tindak kekerasan ketika berada di Kantor Polisi. Bentuk kekerasan
yang umum terjadi yaitu kekerasan fisik berupa tamparan dan tendangan, namun
ada juga kasus kekerasan yang sekaligus berupa pelecehan seksual seperti
kekerasan yang ditujukan pada alat kelamin atau tersangka anak yang
ditelanjangi. Dua hal seperti ini terjadi pada anak yang disangka melakukan
tindak pidana yang berkaitan dengan kesusilaan. Selain kekerasan yang dilakukan
dalam rangka penyusunan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), dimana kekerasan
merupakan bagian dari upaya memperoleh pengakuan, bentuk kekerasan lain yang
terjadi, yaitu perampasan uang yang ada pada anak. Selain itu kekerasan juga
terjadi dalam wujud penghukuman yaitu berupa tindakan memaksa anak untuk
membersihkan kantor polisi (menyapu dan mengepel) dan membersihkan mobil.[2]
Menurut anak, selama proses
penyidikan, tidak jarang anak dimasukkan ke tahanan dewasa, karena di berbagai
wilayah belum adanya rumah tahanan khusus anak-anak. Selama proses penyidikan,
anak mengemukakan tentang berbagai perlakuan tindak kekerasan dan intimidasi
yang kerap diterima anak. Sebaliknya Penyidik mengungkapkan bahwa proses
penyidikan pada anak berbeda dengan orang dewasa, bersifat kekeluargaan dan
diupayakan oleh penyidik anak. Namun dari bebeberapa ungkapan anak didik di LP,
diperoleh gambaran bahwa sejak proses penangkapan, anak telah diperlakukan
“kasar” terlebih jika anak tersebut adalah anak jalanan.[3]
Hadirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, sebagai hukum positif yang memberi jaminan perlindungan
anak, semestinya cukup membuat lega bagi orang tua dan kelompok masyarakat yang
memiliki perhatian terhadap masalah anak di Indonesia. Namun realitasnya,
jaminan pemenuhan hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh dan berkembang, dapat
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, masih “sebatas
idealitas”. Bahkan Kak Seto mengaku prihatin terhadap perlindungan anak di
Indonesia sebagaimana yang diatur UUPA No 23 tahun 2002, pelaksanaannya jauh
dari harapan semua pihak. Pelaksanaan UU tersebut, saat ini mungkin hanya
dilaksanakan baru sekitar 20 % saja. Fenomena kekerasan terhadap anak, dengan
berbagai bentuknya nampaknya masih menjadi trend yang terus meningkat dalam
masyarakat.[4]
Dalam Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2002 disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18
tahun, karena memang secara psikogis anak pada hakikatnya adalah seseorang yang
berada pada suatu fase perkembangan tertentu menuju dewasa dan mandiri.
Karenanya, anak bukanlah sosok manusia dewasa dengan fisik yang masih kecil.
Anak adalah anak, dengan karakteristik psikologisnya yang khas dalam masa
tumbuh dan berkembang. Adanya pentahapan menunjukkan bahwa anak sebagai sosok
manusia dengan kelengkapan-kelengkapan dasar dalam dirinya baru mencapai
kematangan hidup melalui beberapa proses seiring dengan pertambahan usianya.
Oleh karena itu, anak memerlukan bantuan, bimbingan dan pengarahan dan
perlindungan dari orang dewasa (orang tua, pendidik, dan pihak lainnya). Dengan
alasan itu pula Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 dibuat untuk melindungi anak
Indonesia.
Pembimbing
Kemasyarakatan adalah petugas pemasyarakatan pada Balai Pemasyarakatan
(BAPAS) yang bertugas melakukan bimbingan kepada warga binaan pemasyarakatan. Petugas Kemasyarakatan bertugas membantu memperlancar tugas
penyidik, penuntut umum dan hakim dalam perkara anak nakal, baik di dalam
maupun di luar sidang anak, dengan membuat laporan hasil penelitian
kemasyarakatan serta membimbing, membantu dan mengawasi anak nakal yang
berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana bersyarat, pidana pengawasan,
pidana denda, diserahkan kepada Negara dan harus mengikuti latihan kerja atau
anak yang memperoleh pembebasan bersyarat dari Lembaga.
Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta dikenal sebagai Kota Pelajar dan Kota Wisata. Dengan
kondisi Kota Yogyakarta yang demikian, menjadikan banyak penduduk musiman
berdatangan ke Yogyakarta baik dengan tujuan untuk mengikuti pendidikan, tujuan
wisata maupun tujuan mencari pekerjaan bagi masyarakat di daerah sekitar kota
Yogyakarta. Kepadatan penduduk,
kurangnya lapangan pekerjaan, banyaknya fasilitas internet di Kota Yogyakarta
menjadi faktor pendukung terjadinya kejahatan selain faktor kondisi orang tua, lingkungan,
pergaulan, VCD Porno.
Data Kepolisian
Kota Besar Yogyakarta menunjukkan bahwa pada tahun 2008, sedikitnya terdapat 66
kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak di bawah umur, sedangkan pada
tahun 2009, hanya terdapat 42 kasus. Dari 66 kasus tindak pidana yang dilakukan
oleh anak di bawah umur pada tahun 2006, kasus yang paling banyak dilakukan
adalah tindak pidana pencurian sebanyak 35 kasus yang terdiri dari tindak
pidana pencurian biasa sebanyak 14 kasus dan tindak pidana berat sebanyak 21
kasus, kemudian tindak pidana penganiayaan sebanyak 9 kasus, tindak pidana
pengeroyokan sebanyak 7 kasus, tindak pidana pengrusakkan sebanyak 4 kasus,
tindak pidana pemerasan dan pengancaman sebanyak 3 kasus, tindak pidana
pencabulan, tindak pidana membawa senjata tajam, dan tindak pidana melarikan
gadis masing-masing sebanyak 2 kasus,
serta tindak pidana penipuan dan tindak pidana membuang orok
masing-masing sebanyak 1 kasus.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian
latar belakang di muka, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah perundang-undangan pidana (pidana anak)
sudah memberikan perlindungan terhadap anak yang melakukan tindak pidana?
2. Kendala apa yang mempengaruhi perlindungan terhadap anak yang melakukan tindak pidana?
E.
Landasan Teori
Kejahatan secara umum adalah
perbuatan atau tindakan yang jahat yang dilakukan oleh manusia yang dinilai
tidak baik, tercela dan tidak patut dilakukan. Simandjuntak menyatakan bahwa
“kejahatan adalah suatu tindakan anti sosial yang merugikan, tidak pantas,
tidak dapat dibiarkan yang dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat.”[5]
Menurut Van Bemmelen “kejahatan adalah tiap kelakukan yang bersifat
tindak susila yang merugikan yang menimbulkan begitu banyak ketidaktenangan
dalam suatu masyarakat tertentu. Sehingga masyarakat itu berhak mencelanya dan
menyatakan penolakannya atas kelakukan itu dalam bentuk nestapa dengan sengaja
diberikan karena kelakuan tersebut”. [6]
Sementara itu, menurut Bonger “setiap
kejahatan bertentangan dengan kesusilaaan, kesusilaan berakar dalam rasa sosial
dan lebih dalam tertanam daripada agama, kesusilaan merupakan salah satu kaidah
pergaulan”.[7]
Kejahatan kesusilaan secara umum
merupakan perbuatan atau tindakan melanggar kesusilaan atau immoral yang
sengaja merusak kesopanan di muka umum atau orang lain tidak atas kemauan si
korban dengan paksaan dan melalui ancaman kekerasan.
Tindak pidana
atau tindak pidana anak-anak mengandung pengertian perbuatan-perbuatan yang
merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak, yang melanggar
nilai-nilai atau norma-norma yang dapat merugikan orang lain atau masyarakat,
biasa disebut dengan “ Juvenile Delinquency “ mengenai terminology ini,
banyak sarjana yang memberikan pendapat atau tanggapan menurut versinya
masing-masing.[8]
Menurut Romli Atmasasmita bahwa “ tindak pidana
anak-anak adalah tindakan yang dilakukan anak-anak yang dianggap bertentangan
dengan ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara, yang oleh masyarakat
dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan yang tercela.”[9]
Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum
yang di lakukan oleh anak menurut penjelasan umum Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut diantaranya :
a. Adanya dampak negatif dari
perkembangan pembangunan;
b. Arus globalisasi dibidang
komunikasi dan informasi;
c.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tindak pidana anak menurut Sri
Widoyanti adalah sebagai berikut :
a.
Keluarga
yang Broken Homes;
b.
Keadaan
ekonomi;
c.
Sikap masyarakat terhadap anggota masyarakat;
d.
Kepadatan
penduduk;
e.
Lingkungan
pendidikan;
f.
Pengaruh Film, Televisi dan hiburan lain;
g.
Perasaan disingkirkan oleh teman-teman;
h.
Sifat anak itu sendiri.[10]
Untuk
menjamin Perlindungan terhadap anak-anak yang berhadapan dengan hukum
ditetapkan sebagai kelompok anak yang membutuhkan Perlindungan Khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak. Adapun bunyi pasal tersebut adalah sebagai berikut :
Pasal 59 :
Pemerintah dan lembaga
negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan
khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum,
anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi
dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya
(napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban
kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak
korban perlakuan salah dan penelantaran.
Perlindungan
khusus bagi anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang berhadapan dengan
hukum, diatur dan dijelaskan dalam Pasal 64. Adapun bunyi pasal tersebut adalah
sebagai berikut :
Pasal 64 :
(1) Perlindungan khusus bagi
anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi
anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan
kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.
(2) Perlindungan khusus bagi
anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan melalui :
a. Perlakuan atas anak secara
manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak;
b. Penyediaan petugas
pendamping khusus anak sejak dini;
c. Penyediaan sarana dan
prasarana khusus;
d. Penjatuhan sanksi yang tepat
untuk kepentingan yang terbaik bagi anak;
e. Pemantauan dan pencatatan
terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum;
f. Pemberian jaminan untuk
mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga; dan
g. Perlindungan dari
pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.
Dalam Pasal 45, Pasal 46 dan Pasal 47
KUHP, anak di bawah umur bukan merupakan alasan penghapus pidana, namun hanya
disebutkan sebagai alasan yang dapat meringankan pidana. Adapun bunyi pasal tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pasal 45 :
Dalam hal penuntutan pidana terhadap
orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam
belas tahun, hakim dapat menentukan : memerintahkan supaya yang bersalah
dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apa
pun; atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa
pidana apa pun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran
berdasarkan pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503-505, 514, 517-519, 526, 531,
532, 536, dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena
melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di atas, dan
putusannya telah menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah.
2. Pasal 46 :
(1). Jika hakim memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada
pemerintah, maka ia dimasukkan dalam rumah pendidikan negara supaya menerima
pendidikan dari pemerintah atau di kemudian hari dengan cara lain, atau
diserahkan kepada seorang tertentu yang bertempat tinggal di Indonesia atau
kepada suatu badan hukum, yayasan atau lembaga amal yang berkedudukan di
Indonesia untuk menyelenggarakan pendidikannya, atau di kemudian hari, atas
tanggungan pemerintah, dengan cara lain; dalam kedua hal di atas, paling lama
sampai orang yang bersalah itu mencapai umur delapan belas tahun.
(2). Aturan untuk melaksanakan ayat 1 pasal ini
ditetapkan dengan undang-undang.
3. Pasal 47 :
(1). Jika hakim menjatuhkan pidana, maka maksimum pidana pokok terhadap
tindak pidananya dikurangi sepertiga.
(2). Jika perbuatan itu merupakan kejahatan yang diancam dengan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling
lama lima belas tahun.
(3). Pidana tambahan dalam pasal 10 butir b,
nomor 1 dan 3, tidak dapat diterapkan.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, maka Pasal 45, 46 dan Pasal 47 KUHP,
dinyatakan tidak berlaku lagi. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 67
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Adapun bunyi pasal
tersebut adalah sebagai berikut :
Pasal
67 :
Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, maka
Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dinyatakan
tidak berlaku lagi.
Dengan demikian, ketentuan hukum
pidana yang mengatur ketentuan tentang anak saat ini ada diatur dalam
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997. Konsekuensi tidak berlakunya ketentuan Pasal
45, 46 dan Pasal 47 KUHP, menyebabkan sistem pemidanaan terhadap anak tidak
lagi merupakan satu kesatuan sistem yang utuh.
Ketentuan mengenai anak dalam Pasal
45, 46 dan Pasal 47 KUHP merupakan salah satu bagian dari keseluruhan sistem
pemidanaan dan keseluruhan sistem pemidanaan anak, karena sistem pemidanaan
terhadap anak tidak hanya diatur dalam Pasal 45, 46 dan Pasal 47 KUHP saja yang
hanya mengatur tentang kewenangan hakim dalam menjatuhkan putusan tentang
jenis-jenis sanksi (pidana dan tindakan) dan lamanya pidana untuk anak yang
melakukan tindak pidana. Dengan tidak diberlakukannya Pasal 45, 46 dan Pasal 47
KUHP, maka salah satu sub-sistem pemidanaan anak dalam KUHP sudah tidak ada,
dan diganti dengan aturan-aturan yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tidak
mengikuti ketentuan Pidana pada Pasal 10 KUHP, namun membuat sanksinya secara
tersendiri. Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997. Adapun bunyi pasal tersebut adalah sebagai berikut :
Pasal
23 :
(1)
Pidana
yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana pokok dan pidana tambahan;
(2)
Pidana pokok
yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah :
a.
pidana
penjara;
b.
pidana
kurungan;
c.
pidana denda;
atau
d.
pidana
pengawasan.
(3)
Selain pidana
pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap Anak Nakal dapat juga
dijatuhkan pidana tambahan, berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau
pembayaran ganti rugi;
(4)
Ketentuan
mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, ancaman pidana yang dapat
dijatuhkan terhadap anak nakal pelaku tindak pidana diatur dalam Pasal 26.
Adapun bunyi pasal tersebut adalah sebagai berikut :
Pasal 26 :
(1)
Pidana
penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam
pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman
pidana penjara bagi orang dewasa.
(2)
Apabila Anak
Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka
pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10
(sepuluh) tahun.
(3)
Apabila Anak
Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum mencapai umur
12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut hanya dapat
dijatuhkan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b.
(4)
Apabila Anak
Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum mencapai umur
12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang tidak diancam pidana mati
atau tidak diancam pidana penjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal
tersebut dijatuhkan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
Dengan ketentuan Pasal 26 ini, maka
ketentuan–ketentuan dalam KUHP tentang ancaman pidana bagi anak harus dibaca
setengah dari ancaman hukuman bagi orang dewasa.
Berdasarkan Pasal 26 ayat (3) di atas,
disebutkan bahwa anak nakal yang belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun
melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati atau pidana penjara
seumur hidup maka terhadap Anak Nakal
tersebut hanya dapat dijatuhkan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
ayat (1) huruf b. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan bunyi Pasal 24 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997. Adapun bunyi pasal tersebut
adalah sebagai berikut :
Pasal 24 :
(1) Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal
ialah :
a.
Mengembalikan
kepada orangtua, wali, atau orangtua asuh;
b.
Menyerahkan
kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau
c.
Menyerahkan
kepada departemen sosial, atau organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak
dibidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
(2)
Tindakan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai dengan teguran dan syarat
tambahan yang ditetapkan oleh Hakim.
Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan
kepada anak nakal sesuai Pasal 1 angka 2 huruf a Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997, paling lama (maksimum) setengah dari maksimum ancaman pidana kurungan
bagi orang dewasa.
”Pidana
denda yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
28 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 adalah setengah dari maksimum ancaman
pidana denda bagi orang dewasa. Apabila denda itu ternyata tidak dapat dibayar,
maka wajib diganti dengan wajib latihan kerja paling lama 90 (sembilan puluh)
hari kerja dengan jam kerja tidak lebih dari 4 (empat) jam sehari, dan tidak
boleh dilaksanakan pada malam hari. Ketentuan ini mengikuti Pasal 4 Permenaker
No: Per-01/Men/1987 yang menentukan anak yang terpaksa bekerja tidak boleh
bekerja lebih dari 4 (empat) jam sehari, tidak bekerja pada malam hari”.[11]
Dalam hal pidana penjara yang dapt
dijatuhkan kepada anak nakal maksimal 2 (dua) tahun, maka dalam hal demikian
sesuai Pasal 29 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 hakim dapat menjatuhkan
hukuman pidana bersyarat. Ini sepenuhnya bergantung kepada hakim untuk
menjatuhkan pidana bersyarat atau tidak. Apabila dijatuhkan pidana bersyarat,
maka ditentukan syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum adalah anak nakal
tidak akan melakukan tindak pidana lagi selama menjalani masa pidana bersyarat.
Sementara syarat khusus misalnya tidak boleh mengemudikan kendaraan bermotor,
atau wajib mengikuti kegiatan–kegiatan yang diprogramkan Balai Pemasyarakatan
(BAPAS). Jadi syarat umum tidak mengulangi tindak pidana lagi, sedangkan syarat
khususnya melakukan atau tidak melakukan hal–hal tertentu yang ditetapkan dalam
putusan dengan mengusahakan kebebasan anak. Masa hukuman syarat khusus harus
lebih pendek dari syarat umum dan paling lama 3 (tiga) tahun.
Selama masa hukuman bersyarat,
pengawasan terhadap anak nakal dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Sementara
bimbingan dilakukan oleh Pembimbing kemasyarakatan. Tujuannya adalah agar anak nakal
itu menepati syarat yang telah ditentukan. Anak yang menjalani hukuman
bersyarat dibimbing di Balai Pemasyarakatan. Selama berstatus sebagai Klien
Pemasyarakatan, anak nakal dapat mengikuti pendidikan sekolah.
Pidana pengawasan yang dapat
dijatuhkan terhadap anak nakal yang melakukan tindak pidana yang diatur dalam
(Pasal 1 angka 2 huruf Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997), sesuai Pasal 30
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama
2 (dua) tahun. Pidana pengawasan, adalah pidana khusus yang dikenakan untuk
anak, yakni pengawasan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap
perilaku anak dalam kehidupan sehari–hari di rumah anak tersebut, dan pemberian
bimbingan yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan.
Berdasarkan Pasal 31 Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 bahwa anak nakal yang oleh hakim diputus untuk diserahkan
kepada negara ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak sebagai Anak Negara.
Pembinaannya menjadi tanggung jawab Lembaga Pemasyarakatan Anak. Untuk itu
Kepala Lembaga Pemasyarakatan Anak dapat mengajukan izin kepada Menteri
Kehakiman RI, agar Anak Negara tersebut ditempatkan di Lembaga Pendidikan yang
diselenggarakan oleh pemerintah atau swasta. Maksudnya adalah untuk kepentingan
dan masa depan anak. Atau dalam hal kepentingan anak menghendaki, anak itu
dapat diserahkan kepada Panti Sosial Pemerintah atau Swasta, atau Orang Tua
Asuh yang memenuhi syarat.
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 maka
dalam hal hakim menetapkan anak nakal harus mengikuti pendidikan pembinaan dan
latihan kerja, maka hakim dalam penetapannya menentukan lembaga tempat
pendidikan pembinaan dan latihan kerja itu dilaksanakan. Untuk menentukan,
apakah kepada anak nakal akan dijatuhkan pidana atau tindakan, maka hakim
memperhatikan berat atau ringannya tindak pidana atau kenakalan yang dilakukan.
Di samping itu juga diperhatikan : keadaan anak, keadaan rumah tangga orang tua
/ wali / orang tua asuh, hubungan antara anggota keluarga, dan keadaan lingkungannya.
Di samping itu hakim juga wajib memperhatikan Laporan Pembimbing
Kemasyarakatan.
Menurut
Barda Nawawi Arief, di dalam dokumen-dokumen internasional, seperti SMR-JJ (The
Beijing Rules) dinyatakan antara lain : Rule 17.1. Pengambilan keputusan
oleh pejabat yang berwenang (termasuk hakim,penuntut umum) harus berpedoman
pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Reaksi yang diambil (termasuk sanksi
pidana, pen) selalu harus diseimbangkan tidak hanya dengan keadaan-keadaan dan
bobot/keseriusan tindak pidana. (the
circumstances and the gravity of the offences), tetapi juga dengan
keadaan-keadaan dan kebutuhan si anak (the circumstances and the needs of the
juvenile) dan dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat (the needs of the
society);
b. Pembatasan kebebasan/kemerdekaan pribadi anak (restrictions
on the personal liberty of the juvenile) hanya dikenakan setelah
pertimbangan yang hati-hati dan dibatasi seminimal mungkin;
c. Perampasan kemerdekaan pribadi (deprivation
of personal liberty) jangan dikenakan kecuali anak melakukan perbuatan
serius (termasuk tindakan kekerasan terhadap orang lain) atau terus menerus
melakukan tindak pidana serius, dan kecuali tidak ada bentuk respons/sanksi
lain yang lebih tepat;d. kesejahteraan anak harus menjadi factor pedoman dalam
mempertimbangkan kasus anak.[12]
Pengusutan
( Opsporing ) oleh KUHAP dikenal dengan istilah penyidikan dan
penyelidikan. Pengertian penyidikan dan penyelidikan, diatur dalam Pasal 1
angka 2 dan angka 5 KUHAP. Adapun bunyi pasal tersebut adalah sebagai berikut :
Pasal 1 angka 2 :
Penyidikan adalah
serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.
Pasal 1 angka 5 :
Penyelidikan
adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu
peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya
dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Dengan
demikian fungsi penyelidikan adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan sebelum
dilakukannya penyidikan guna memastikan kebenaran suatu peristiwa bahwa tindak
pidana tersebut adalah benar-benar merupakan suatu tindak pidana.
Penyidikan terhadap
anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang berhadapan dengan hukum,
diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997. Adapun bunyi pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut :
Pasal 41 :
(1). Penyidikan terhadap Anak Nakal,
dilakukan oleh Penyidik yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala
Kepolisian Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala
Kepolisian Republik Indonesia.
(2). Syarat-syarat untuk dapat
ditetapkan sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :
a. Telah berpengalaman sebagai
penyidik tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa;
b. Mempunyai minat, perhatian,
dedikasi, dan memahami masalah anak.
(3). Dalam hal tertentu dan dipandang
perlu, tugas penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibebankan
kepada :
a.
Penyidik yang
melakukan tugas penyidikan bagi tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa;
atau
b.
Penyidik lain
yang ditetapkan berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku.
Adapun
latar belakang fungsi peyelidikan adalah untuk melindungi dan jaminan terhadap
hak azasi manusia. Di dalam hukum acara pidana yang dimaksud pejabat kepolisian
adalah tidak semua anggota kepolisian secara umum ( Polri ) dapat menjadi
penyidik perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) di atas.
Dari
pengertian tersebut dapat diketahui bahwa antara KUHAP dan Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1997 memiliki suatu hubungan
yang erat berkenaan dengan penyidikan tindak pidana anak dimana KUHAP tetap
mengatur tentang tata cara melakukan penyidikan dan diperluas atau diatur secara
khusus dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997.
Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP yaitu :
- Menerima laporan atau pengaduan dari seorang
tentang adanya tindak pidana;
- Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat
kejadian;
- Menyuruh berhenti seorang tersangka dan
memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
- Melakukan Penangkapan, penahanan,
penggeledahan dan penyitaan;
- Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
- Mengambil sidik jari dan memotret seorang;
- Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
sebagai tersangka atau saksi;
- Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
- Mengadakan penghentian penyidikan;
- Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggung jawab.
Selain penyelidik dan
penyidik, KUHAP juga mengenal penyidik pembantu sebagaimana diatur dalam Pasal
1 angka (3) dan Pasal 10 angka (1) dan
(2) KUHAP. Adapun bunyi pasal tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Pasal 1 angka (3) :
Penyidik
pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang karena diberi
wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam
undang-undang ini.
2.
Pasal 10 :
(1). Penyidik pembantu adalah pejabat
kepolisian negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala kepolisian
negara Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dalam ayat (2) pasal
ini.
(2). Syarat kepangkatan sebagaimana tersebut
pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
Mengenai wewenang antara
penyidik dengan penyidik pembantu, menurut Pasal 11 KUHAP sama dengan penyidik
POLRI seperti yang tercantum dalam Pasal 7 butir ( 1 ) KUHAP kecuali mengenai
penahanan. Kemudian dalam penjelasan Pasal 11 KUHAP disebutkan bahwa :
Pelimpahan wewenang penahanan kepada penyidik pembantu hanya diberikan apabila
perintah dari penyidik tidak dimungkinkan karena hal dan dalam keadaan yang
sangat diperlukan dimana terdapat hambatan perhubungan didaerah terpencil atau
ditempat yang belum ada petugas penyidik dan atau dalam hal lain yang dapat
diterima menurut kewajaran.
Lebih lanjut dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 disebutkan bahwa :
(1). Penyidik wajib memeriksa
tersangka dalam suasana kekeluargaan.
(2). Dalam melakukan penyidikan
terhadap Anak Nakal, Penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari
Pembimbing Kemasyarakatan, dan apabila perlu juga dapat meminta pertimbangan
atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas
kemasyarakatan lainnya.
(3). Proses penyidikan terhadap
perkara Anak Nakal wajib dirahasiakan.
Pejabat
yang berwenang untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan diatur dalam Pasal 1
angka 1 dan angka 4 KUHAP. Adapun bunyi pasal tersebut adalah sebagai berikut :
Pasal 1 angka 1 :
Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik
Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang
khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
Pasal 1 angka 4 :
Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik
Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan
penyelidikan.
Penyidikan
dimulai setelah terjadi tindak pidana dan penyidikan dilakukan untuk
mendapatkan keterangan-keterangan tentang :
- Tindak pidana yang telah dilakukan;
- Kapan tindak pidana itu dilakukan;
- Dengan apa tindak pidana itu dilakukan;
- Bagaimana tindak pidana itu dilakukan;
- Mengapa tindak pidana itu dilakukan; dan
- Siapa pelakunya.
Selanjutnya yang disebut
penyelidik sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 KUHAP adalah :
Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia
yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan, kemudian
dalam Pasal 4 KUHAP disebutkan bahwa penyelidik adalah : setiap Pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia.
”Sedangkan yang disebut penyidik disebutkan dalam Pasal 12 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 1961 dinyatakan bahwa penyidik dilakukan oleh pejabat-pejabat
kepolisian tertentu yang selanjutnya diatur oleh peraturan menteri. Dalam Pasal
6 ( enam ) KUHAP dijelaskan bahwa :
1.
Penyidik adalah :
a.
Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
b.
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang.
2.
Syarat
kepangkatan pejabat sebagai mana yang dimaksud dalam butir 1 akan diatur lebih
lanjut dalam peraturan pemerintah”.[13]
Sehubungan dengan perlindungan terhadap anak maka berdasarkan
Pasal 51 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 bahwa Setiap Anak Nakal sejak saat ditangkap atau ditahan
berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat Hukum selama
dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang
ditentukan dalam undang-undang ini. Kemudian Pejabat yang melakukan penangkapan
atau penahanan wajib memberikan kepada tersangka dan orangtua, wali, atau
orangtua asuh, mengenai hak memperoleh bantuan Hukum. Lebih
lanjut, dalam Pasal 52 disebutkan bahwa dalam memberikan bantuan Hukum
kepada anak penasihat Hukum berkewajiban memperhatikan kepentingan anak dan kepentingan
umum serta berusaha agar suasana kekeluargaan tetap terpelihara dan peradilan
berjalan lancar.
“Juvenile Delinquency ialah
perilaku jahat/dursila, atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda; merupakan
gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang
disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu
mengembangkan bentuk tingkah laku menyimpang”.[14]
“Juvenile berasal dari bahasa Latin “juvenilis”,
artinya anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda, sifat-sifat
khas pada periode remaja. Delinquent berasal dari kata Latin “delinquere
” yang berarti terabaikan, mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya
menjadi jahat, a-sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau,
peneror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana, dursila, dan lain-lain. Delinquent
itu selalu mempunyai konotasi serangan, pelanggaran, kejahatan, dan
keganasan yang dilakukan oleh anak-anak muda di bawah umur 22 tahun”.[15]
Menurut Sudarsono dari sudut
etimologis, juvenile delinquency berarti kejahatan anak, akan tetapi
pengertian ini menimbulkan konotasi yang cenderung negatif, bahkan negatif sama
sekali. Atas pertimbangan yang lebih demokrat dan mengingat kepentingan subyek,
maka beberapa ilmuwan memberanikan diri mengartikan juvenile delinquency menjadi
kenakalan anak. Dalam konsepsi ini telah terjadi pergeseran aktivitas secara
kualitatif dan pergeseran subyek pun dalam perkembangannya terjadi pula. Dalam
perkembangannya itu, juvenile
delinquency berarti kenakalan remaja.[16]
“Beberapa teori mengenai sebab
terjadinya Juvenile Delinquency dikemukakan oleh para ahli, salah
satunya Kartini Kartono yang menguraikan teori mengenai penyebab
kenakalan remaja sebagai berikut :
1.
Teori
Biologis
Tingkah laku
sosipatik atau delinkuen pada anak-anak dan remaja dapat muncul karena beberapa
faktor fisiologis dan stuktur jasmaniah yang dibawa sejak lahir. Misalnya cacat
jasmaniah bawaan dan diabetes insipidus (sejenis penyakit gula) itu erat
berkorelasi dengan sifat-sifat kriminal serta penyakit mental.
2.
Teori
Psikogenis
Teori ini
menekankan sebab-sebab tingkah laku delinkuen anak-anak dari aspek psikologis
atau isi kejiwaaan. Antara lain: faktor intelegensi, ciri kepribadian,
motivasi, sikap-sikap yang salah, fantasi, rasionalisasi, internalisasi yang
keliru, konflik batin, emosi yang kontroversial, kecenderungan psikopatologis,
dan lain-lain.
3.
Teori
Sosiologis
Penyebab tingkah
laku delinkuen pada anak-anak remaja adalah murni sosiologis atau
sosial-psikologis sifatnya. Misalnya disebabakan oleh tekanan kelompok, peranan
sosial, status sosial atau internalisasi simbolis yang keliru.
4.
Teori
Subkultur
Menurut teori
subkultur ini, sumber juvenile delinquency ialah: sifat-sifat suatu struktur
sosial dengan pola budaya (subkultur) yang khas dari lingkungan familial,
tetangga, dan masyarakat yang didiami oleh para remaja delinkuen tersebut.
Sifat-sifat
masyarakat tersebut antara lain : punya populasi yang sangat padat, status
sosial-ekonomis penghuninya rendah, kondisi fisik perkampungan yang sangat
buruk dan banyak disorganisasi familial dan sosial bertingkat tinggi”.[17]
Jensen yang melihat perilaku delinkuen dari segi bentuk dan dampak
kenakalan, menggolongkan perilaku delinkuen dalam empat jenis, yaitu :
1.
Kenakalan
yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: perkelahian, perkosaan,
perampokan, pembunuhan, dan lain-lain;
2.
Kenakalan
yang menimbulkan korban materi: perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan,
dan lain-lain;
3.
Kenakalan
sosial yang tidak menimbulkan korban difihak orang lain: pelacuran, penyalah
gunaan obat, hubungan seks pra-nikah;
4.
Kenakalan
yang melawan status, misalnya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan
cara membolos, mengingkari status orang tua dengan cara minggat dari rumah atau
membantah perintah mereka dan sebagainya.[18]
“Anak-anak
delinkuen mempunyai sifat kepribadian khusus yang menyimpang, seperti :
1.
Hampir semua
anak muda jenis ini cuma berorientasi pada “masa sekarang”, bersenang-senang
hari ini. Mereka tidak mau mempersiapkan bekal hidup bagi hari esok. Mereka
tidak mampu membuat rencana bagi hari depan;
2.
Kebanyakan
dari mereka itu terganggu secara emosional;
3.
Mereka
kurang tersosialisasi dalam masyarakat normal, sehingga tidak mampu mengenal
norma-norma kesusilaan, dan tidak bertanggung jawab secara sosial;
4.
Mereka
suka menceburkan diri dalam kegiatan “tanpa pikir” yang merangsang rasa
kejantanan, walaupun mereka menyadari besarnya resiko dan bahaya yang
terkandung di dalamnya;
5.
Hati
nurani tidak ada atau berkurang fungsinya;
6.
Mereka
kurang memiliki disiplin diri dan kontrol diri, sebab mereka memang tidak
pernah dituntun atau dididik untuk melakukan hal tersebut. Tanpa pengekangan
diri itu mereka menjadi liar, ganas, tidak bisa dikuasai oleh orang dewasa.
Muncullah kemudian kebiasaan jahat yang mendarah daging, dan kemudian menjadi
stigma”.[19]
[1] M. Musa, Peradilan Restoratif Suatu Pemikiran Alternatif System Peradilan Anak Indonesia, Dosen Hukum Pidana pada Fak. Hukum UIR dan Prog.Ilmu Hukum-PPS UIR, http://www.blogger.com, diakses pada tanggal 4 November 2009
[2] Ruben Achmad, Upaya Penyelesaian Masalah Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Di Kota Palembang, http://www.blogger.com, diakses pada tanggal 4 November 2009
[3] Alit Kurniasari, Studi
Penanganan Anak Berkonflik Hukum, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial RI., http://www.blogger.com, diakses pada tanggal 4 November 2009
[4] Suryadi, Upaya
Perlindungan Anak dari Kekerasan, Radarbanjar, 28 October 2008, http://www.blogger.com, diakses pada tanggal 8 Januari 2010
[5] B. Simandjuntak, Pengantar Kriminologi dan
Patologi Sosial, Tarsito, Bandung, 1981, Hal. 71.
[6] Ibid.
[8] Ibid., Hal. 154.
[9] Romli Atmasasmita, Problem
Kenakalan Anak-Anak atau Remaja ( Yuridis Sosio Kriminologis ), Armico,
Bandung, 1983, Hal. 58.
[10] Sri Widoyanti, Anak dan Wanita Dalam Hukum, Pradya
Paramita, Jakarta, 1984, Hal. 34.
[12] Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan
dan Pengembangan Hukum Pidana, Citrra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal.164.
[13] Nurul Afiah, Praperadilan dan
Ruang Lingkupnya, Pradya Paramita, Jakarta, 1987, Hal. 5.
[14] Kartini Kartono, Patologi Sosial dan
Kenakalan Remaja, Grafindo Persada, Jakarta, 2002, (Selanjutnya disingkat
Kartini I), hal. 6.
[15] Muhammad Joni Wakil Ketua Komnas Perlindungan
Anak, Kriminalisasi Anak, http://www.blogger.com, Kamis, 23 Juli
2009, diakses pada tanggal 9 Maret 2009.
[16] Memahami Pelaku Deliquency dan
Resosialisasinya, http://www.blogger.com, 20 Oktober 2007, diakses pada
tanggal 9 Maret 2009.
[17] Kartini Kartono I, Op. Cit, hal. 25.
[18] Kartini Kartono, Patologi Sosial 2,
Radja Grafindo Persada, Jakarta, 1998,
halaman tidak diketahui,
(Selanjutnya disingkat Kartini II), http://www.blogger.com, diakses pada tanggal 9 Maret 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar