A.
Latar Belakang Masalah
Cita - cita bangsa Indonesia
sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 adalah
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian, dan
keadilan sosial.
Dalam rangka mencapai cita - cita
bangsa tersebut diselenggarakan pembangunan nasional di semua bidang kehidupan
yang berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian pembangunan yang
menyeluruh, terpadu, dan terarah. Pembangunan kesehatan sebagai salah satu
upaya pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan, dan
kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat
kesehatan yang optimal.
Pembangunan kesehatan pada dasarnya
menyangkut semua segi kehidupan, baik fisik, mental maupun sosial ekonomi.
Dalam perkembangan pembangunan kesehatan selama ini telah terjadi perubahan
orientasi, baik tata nilai maupun pemikiran terutama mengenai upaya pemecahan
masalah di bidang kesehatan yang dipengaruhi oleh politik, ekonomi, sosial
budaya, pertahanan dan keamanan serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan
orientasi tersebut akan mempengaruhi proses penyelenggaraan pembangunan
kesehatan. Di samping hal tersebut, dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan
perlu memperhatikan jumlah penduduk Indonesia yang banyak dan terdiri dari
berbagai suku, adat istiadat, serta sebagai negara yang berkepulauan dengan
tingkat pendidikan dan sosial yang beragam.
Penyelenggaraan pembangunan kesehatan
meliputi upaya kesehatan dan sumber dayanya harus dilakukan secara terpadu dan
berkesinambungan guna mencapai hasil yang optimal. Keberhasilan pembangunan di berbagai
bidang dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah meningkatkan taraf
kesejahteraan masyarakat dan kesadaran akan hidup sehat. Hal ini mempengaruhi
meningkatnya kebutuhan pelayanan dan pemerataan yang mencakup tenaga, sarana,
dan prasarana baik jumlah maupun mutu. Oleh karena itu diperlukan pengaturan
untuk melindungi pemberi dan penerima jasa pelayanan medis.
Pasien dan rumah sakit adalah dua
subyek hukum yang terkait dalam bidang pelayanan medis. Keduanya membentuk baik
hubungan medis maupun hubungan hukum. Hubungan medis dan hubungan hukum antara
dokter, pasien dan rumah sakit adalah hubungan yang obyeknya adalah
pemeliharaan kesehatan pada umumnya dan pelayanan kesehatan / medis pada
khususnya.
Peran dan fungsi rumah sakit sebagai
tempat untuk melakukan pelayanan medis, yang professional akan erat kaitannya
dengan 3 (tiga) unsur, yaitu : (1). Unsur mutu yang dijamin kualitasnya, (2).
Unsur keuntungan atau manfaat yang terjamin dalam mutu pelayanan, (3). Hukum
yang mengatur perumahsakitan secara umum dan kedokteran dan / atau medik
khususnya.[1]
Pelayanan kesehatan dapat
diselenggarakan oleh rumah sakit, klinik atau dokter praktik yang mempunyai
kewenangan dan keahlian khusus di bidang pelayanan medis. Hal ini sesuai dengan
Pasal 23 angka 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan yang
menyebutkan bahwa Tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan
kesehatan.
Meskipun terdapat hubungan hukum
dalam pelayanan medis, namun perlindungan hukum terhadap pasien belum secara
eksplisit termuat dalam Undang - Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan.
Untuk lebih memberikan perlindungan hukum terhadap hak - hak dokter maupun
pasien, maka dibentuklah Undang - Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran sebagai pelengkap dari Undang - Undang Nomor 36 Tahun 2009 yang
merupakan dasar hukum kesehatan di Indonesia. Selain ketentuan tersebut, dalam
praktik pelayanan kesehatan juga berlandaskan pada Peraturan Pemerintah Nomor
32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan dan Kode Etik Rumah Sakit Indonesia
(Kodersi). Kodersi merupakan regulasi pelayanan kesehatan khususnya yang
dilaksanakan oleh rumah sakit.
Kodersi antara lain memuat kewajiban
umum rumah sakit, kewajiban rumah sakit terhadap masyarakat, kewajiban rumah
sakit terhadap pasien, dan kewajiban rumah sakit terhadap pimpinan, staff,
maupun karyawan. Di samping itu Kodersi juga memuat hubungan rumah sakit dengan
lembaga terkait. Nilai - nilai yang terkandung dalam Kodersi merupakan nilai - nilai
etik yang identik dengan nilai - nilai ahlak atau moral, yang mutlak diperlukan
guna melandasi dan menunjang berlakunya nilai - nilai dalam perumahsakitan guna
tercapainya pemberian pelayanan kesehatan oleh rumah sakit yang baik, bermutu
dan professional.
Ketentuan yang ada dalam Kodersi
tersebut juga sejalan dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran yang resmi diberlakukan pada tanggal 6 Oktober 2005 lalu.
Undang-undang ini dibuat dalam rangka memberikan kepastian dan perlindungan
hukum, untuk meningkatkan, mengarahkan, dan memberikan landasan hukum serta
menata kembali berbagai perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan praktik
kedokteran.
Undang - Undang
Nomor 29 Tahun 2004 hanya salah satu aspek hukum yang
berkaitan dengan penyelenggaraan praktik kedokteran dan tidak dapat disebut
sebagai hukum kedokteran ataupun hukum kesehatan. Pengaturan penyelenggaraan praktik kedokteran
dilandaskan pada asas kenegaraan, keilmuan, kemanfaatan, kemanusiaan dan
keadilan. Keberadaan Undang - Undang Nomor 29 Tahun 2004 dimaksudkan
untuk :
a.
Memberikan perlindungan kepada
pasien,
b. Mempertahankan dan meningkatkan mutu
pelayanan medis yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi,
c. Memberikan kepastian hukum kepada
masyarakat, dokter dan dokter gigi.
Untuk
mencapai tujuan tersebut, diatur pembentukan dua lembaga independen yaitu Konsil
Kedokteran Indonesia (KKI) dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
(MKDKI), masing - masing dengan fungsi, tugas dan kewenangan yang berbeda.
Peraturan
perundang - undangan tentang kesehatan dan pelayanan kesehatan di Indonesia
telah cukup lengkap, namun tidak ada peraturan yang menyebutkan bagaimana
tanggung jawab sebuah rumah sakit atau tenaga kesehatan dalam hal terjadi
kesalahan pengobatan atau perawatan, sehingga pasien sulit menuntut rumah sakit
atau dokter secara hukum, sebab ada perbedaan koridor hukum antara rumah sakit
dan dokter secara khusus.
Di samping
belum adanya standar ketentuan yang pasti mengenai tanggung jawab rumah sakit
atau tenaga kesehatan, ketidaktahuan pasien atau kurangnya komunikasi antara
pasien dengan rumah sakit sering menyebabkan hak-hak pasien tidak terlindungi.
Contoh keluhan pasien yang dirawat berlama - lama meski sudah sembuh, hal ini
tentunya menambah biaya perawatan. Lebih fatal adalah kesalahan perawatan yang
menimbulkan dugaan adanya malpraktik.
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut,
maka dapat dirumuskan suatu permasalah sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah implementasi
perlindungan terhadap hak - hak pasien ditinjau dari Pasal 4 s / d Pasal 8 Undang
- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ?
2.
Faktor - faktor apakah yang
menjadi penghambat dalam upaya perlindungan terhadap hak – hak pasien ?
C.
Landasan Teori
Hukum kesehatan merupakan bidang
hukum yang masih muda. Perkembangannya dimulai pada waktu World Conggres on
Medical Law di Belgia pada tahun 1967. Perkembangan selanjutnya melalui World
Conggres of The Association for Medical Law yang diadakan secara periodik
hingga saat ini. Di Indonesia perkembangan hukum kesehatan dimulai dari
terbentuknya Kelompok Studi untuk Hukum Kedokteran FK-UI/RS. Cipto Mangunkusumo
di Jakarta pada tahun 1982. Perhimpunan untuk Hukum Kedokteran Indonesia
(PERHUKI), terbentuk di Jakarta pada tahun 1983 dan berubah menjadi Perhimpunan
Hukum Kesehatan Indonesia pada Konggres I di Jakarta pada tahun 1987.
J.J. Leenen
memberikan definisi hukum kesehatan sebagai berikut :
Hukum kesehatan meliputi
ketentuan hukum yang langsung berhubungan dengan pemeliharaan kesehatan dan
penerapan dari hukum perdata, hukum pidana, hukum adminitratif dalam hubungan
tersebut, pedoman internasional, hukum kebiasaan dan yurisprudensi yang
berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan, hukum otonom, ilmu dan literatur
menjadi sumber hukum kesehatan.[2]
Di dalam
Undang - Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, hukum kesehatan
dirumuskan sebagai rangkaian peraturan perundang - undangan dalam bidang
kesehatan yang mengatur pelayanan kesehatan dan sarana kesehatan. Perumusan
hukum kesehatan menurut Undang - Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,
mengandung pokok - pokok pengertian sebagaimana diatur dan dijelaskan dalam BAB
I Pasal 1 antara lain sebagai berikut :
1. Kesehatan adalah keadaan sehat, baik
secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang
untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
2. Sumber daya di bidang kesehatan adalah
segala bentuk dana, tenaga, perbekalan kesehatan, sediaan farmasi dan alat
kesehatan serta fasilitas pelayanan kesehatan dan teknologi yang dimanfaatkan
untuk menyelenggarakan upaya kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah,
pemerintah daerah, dan / atau masyarakat.
3. Perbekalan kesehatan adalah semua bahan
dan peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan.
4.
Sediaan farmasi adalah
obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika.
5.
Alat kesehatan adalah
instrument, apparatus, mesin dan / atau implant yang tidak mengandung obat yang
digunakan untuk mencegah, mendiagnosis, menyembukan dan meringankan penyakit,
merawat orang sakit, memulikan kesehatan pada manusia, dan / atau membentuk
struktur dan memperbaiki fungsi tubuh.
6.
Tenaga kesehatan adalah setiap
orng yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan
dan / atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis
tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
7.
Fasilitas pelayanan kesehatan
adalah suatu alat dan / atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya
pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitative
yang dilakukann oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan / atau masyarakat.
8.
Obat adalah bahan atau paduan
bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau
menyelidiki system fisilogi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan
diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan
kontrasepsi untuk manusia.
9.
Obat tradisional adalah bahan
atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral,
sediaan sarian (galenik), atau
campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk
pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di
masyarakat.
10.
Teknologi kesehatan adalah
segala bentuk alat dan / atau metode yang ditujukan untuk membantu menegakkan
diagnose, pencegahan, dan penanganan permasalahan kesehatan manusia.
11.
Upaya kesehatan adalah setiap
kegiatan dan / atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara
terpadu,terintregasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan
kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemullihan kesehatan oleh pemerintah atau
masyarakat.
12.
Pelayanan kesehatan promotif
adalah suatu kegiatan atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang lebih
mengutamakan kegiatan yang bersifat promosi kesehatan.
13.
Pelayanan kesehatan preventif
adalah suatu kegiatan pencegahan terhadap suatu masalah kessehatan atau
penyakit.
14.
Pelayanan kesehatan kuratif
adalah suatu kegiatan dan atau serangkaian kegiatan pengobatan yang ditujukan
untuk penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat penyakit,pengurangan
penderitaan akibat penyakit,pengendalian penyakit,atau pengendalian kecacatan
agar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal mungkin.
15.
Pelayanan kesehatan
rehabilitatif adalah kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan untuk mengembalikan
bekas penderita ke dalam masyarakat sehingga dapat berfungsi lagi sebagai
anggota masyarakat yang berguna untuk dirinya dan masyarakat semaksimal mungkin
sesuai dengan kemampuannya.
16.
Pelayanan kesehatan tradisional
adalah pengobatan dan/atau perawatan dengan cara dan obat yang mengacu pada
pengalaman dan keterampilan turun temurun secara empiris yang dapat
dipertanggungjawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di
masyarakat.
17.
Pemerintah pusat, selanjutnya
disebut pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan
Pemerintah Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
18.
Pemerintah daerah adalah
gubernur, bupati, atau walikota dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
19.
Menteri adalah menteri yang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya dibidang kesehatan.
Dalam pertumbuhannya selama beberapa
dasawarsa, hukum kesehatan telah mengarah ke spesialisasi sebagai suatu
pengkhususan ilmu pengetahuan hukum. Sasaran utama dalam hukum kesehatan adalah
pelayanan kesehatan yang mengandung banyak aspek dan dikuasai oleh peraturan - peraturan
dari berbagai bidang hukum. Hubungan antara peminta dan pemberi pelayanan
kesehatan terletak dalam bidang hukum perdata, akan tetapi tekanan hukum pidana
muncul apabila di dalam hubungan tersebut terselip unsur kesalahan. Perundang -
undangan yang mengatur profesi dan organisasi pada umumnya berlandaskan hukum
tata usaha negara atau hukum adminitratif. Peranan dokumen – dokumen
internasional ikut menentukan nasib hukum kesehatan, demikian pula pedoman dan
surat edaran organisasi - organisasi profesi tidak kalah pentingnya.
Di dalam hukum kesehatan dikenal dua
hak dasar manusia yaitu : Hak Dasar Sosial dan Hak Dasar Individu. Hal yang
paling menonjol dalam hak dasar sosial adalah The Right of Health Care (hak
atas pemeliharaan kesehatan). Akibat adanya hak ini, maka timbulah salah satu
hak individu yaitu, The Right to Medical Care (hak atas pelayanan
medis). “Antara hak sosial dan hak individu tersebut, saling mendukung, tidak
saling bertentangan serta minimalnya berjalan paralel”. [3]
Ada empat faktor yang menonjol dalam
rangka melaksanakan The Right to Health Care, yang mana satu sama lain
dapat disebabkan, tetapi tidak dapat dipisah-pisahkan karena saling berkaitan,
yaitu:
1.
Faktor Sarana.
Faktor sarana yang dimaksud di sini, misalnya rumah
sakit, klinik, puskesmas atau posyandu, yang penting adalah bahwa sarana-sarana
tersebut harus berfungsi dengan baik dan berkesinambungan.
2.
Faktor Geografi.
Letak sarana kesehatan harus
dapat dicapai dengan mudah dan cepat.
3.
Faktor Finansial / Keuangan.
Tingginya biaya pemeliharaan kesehatan bisa menghambat
warga masyarakat dalam memperoleh hak pemeliharaan kesehatannya.
4.
Faktor Kualitas.
Kualitas yang dimaksud adalah kualitas sarana dan
kualitas tenaga kesehatan.[4]
Sedangkan di dalam hak dasar individu
(The Right of Self - determination) ada dua faktor yang menonjol, yaitu:
1.
Di Bidang Politik.
Kesepakatan internasional tentang hak sipil dan politik
(Internastional Covenant on Civil and Political Right 1966, pasal 1 “All
peoples have the right of self - determination”).
2.
Di Bidang Kesehatan.
Sumber-sumber ketentuan internasional yang relevan,
seperti:
a.
The Universal Declaration of
Human Right 1948 (Pasal 3 “Everyone has the
right to life, liberty and security person”).
b.
The European Convention of
Human Right (Pasal 2, pasal 3 dan pasal 5, yang
pada intinya mengatakan bahwa tidak seorangpun boleh dianiaya/disiksa atau
diperlakukan secara tidak manusiawi atau yang merendahkan martabat manusia).
c.
International Covenant on
Civil and Political Right 1966 (pasal 7 “No one
shall be subjected or torture or to cruel, inhuman or degrading treatment. In
particular, no one shall be subjected without his free consent to medical or
scientific experimentation”. “Free concent” dalam pasal tersebut
merupakan cikal bakal informed concent/persetujuan tindakan medik.[5]
The Right of Self - determination ini merupakan sumber hak individu lain, yaitu hak atas privaci,
atau hak atas kebebasan atau keleluasaan pribadi dan hak atas badan kita diri
sendiri. Antara The Right of Self - determination dengan privaci erat
hubungannya dan mempunyai inti kesamaan yaitu: Tiap individu tidak ingin
diganggu oleh orang lain atau siapapun juga dan jangan menggangu (to be let
alone), termasuk pula agar dirahasiakan data pribadi tertentu, misalnya hak
atas rahasia kedokteran.
Akhir - akhir ini keluhan masyarakat
terhadap dokter makin sering terdengar, antara lain mengenai kurangnya waktu
dokter yang disediakan untuk pasiennya, kurang lancarnya komunikasi, kurangnya
informasi yang diberikan dokter kepada pasien / keluarga, tingginya biaya
pengobatan dan sebagainya. Hal ini disebabkan meningkatnya taraf pendidikan dan
kesadaran hukum masyarakat, dimana masyarakat lebih menyadari akan haknya
seiring dengan munculnya kepermukaan masalah - masalah hak asasi manusia di
seluruh dunia. Memang suatu masyarakat akan tertib dan tenteram, jika setiap
anggotanya memahami, menghayati dan mengamalkan hak dan kewajibannya masing - masing.
Demikian pula dalam suatu kontrak
terapeutik antara dokter dan pasien, maka masing-masing mempunyai hak dan
kewajiban, karena itu perlu dikaji hal tersebut yang menyangkut hubungan dokter
dengan pasien, sehingga tidak selalu menimbulkan konflik yang merisaukan kedua
belah pihak.
Pengaturan tentang hak pasien
belumlah merata, ada sebagian negara yang telah lama sibuk dengan pengaturan
hak pasien dalam peraturan perundang - udangan. “Negeri Belanda telah
memberlakukan Undang - Undang tentang Pasien (Patiente Wet), yang
dimasukkan ke dalam salah satu pasal di dalam Kitab Undang - Undang Hukum
Perdata Belanda”.[6]
Demikian pula dengan Indonesia,
kebutuhan akan perlindungan hak pasien terasa semakin meningkat, sehingga
dibuat undang - undang untuk mellindungi hak - hak pasien, maka dibuatlah
Undang - Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, disebutkan tentang
kewajiban dari tenaga kesehatan untuk menghormati hak pasien.
Dalam penulisan ini tidak
membicarakan tentang hak pasien untuk mendapatkan pemeliharaan kesehatan,
tetapi hak pasien berhubungan dengan pelayanan kesehatan pada umumnya, khususnya
hak pasien dalam hubungan dokter dan pasien, sebagaimana diatur dan dijelaskan
dalam Pasal 4 s / d Pasal 8.
1.
Hak atas Informasi
Hak atas informasi ini terproses
sejalan dengan perkembangan dari hak asasi manusia. Inti dari hak atas
informasi ini adalah hak pasien untuk mendapatkan informasi dari dokter tentang
hal yang berhubungan dengan kesehatan, dalam hal terjadi hubungan dokter – pasien
sebagaimana diatur dan dijelaskan dalam Pasal 7 Undang - Undang Nomor 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan.
Di dalam Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 585 Tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik, pada dasarnya
ditentukan bahwa pemberian informasi dalam setiap tindakan medik menjadi
kewajiban dokter, dokter harus memberikan informasi kepada pasien, baik diminta
maupun tidak diminta oleh pasien.
2.
Hak atas Persetujuan
Hak untuk menentukan diri sendiri (The
Right of Self - determination) juga terproses sejalan dengan perkembangan
hak asasi manusia. Dihubungkan dengan tindakan medik, maka hak untuk menentukan
diri sendiri diformulasikan dengan apa yang dikenal dengan persetujuan atas
dasar informasi (informed concent).
Pengertian informed concent diatur dan dijelaskan
dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585 Tahun 1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medik, Informed concent ditafsirkan sebagai
persetujuan tindakan medik adalah persetujuan yang diberikan pasien atau
keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang dilakukan
terhadap pasien tersebut.
Adanya pengaturan mengenai informed
concent yang terdapat dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585 Tahun
1989 tersebut juga diperkuat dengan adanya Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004
tentang Prakrik Kedokteran yang terdapat dalam Pasal 45 ayat (1) sampai ayat
(6).
Khusus mengenai informed concent menjadi
perhatian khusus, dalam hal ini hak persetujuan pasien setelah informasi melanda
dunia kedokteran Indonesia setelah muncul kasus Muchjidin, Sukabumi 1984.
Bagaimana bila informed concent dikaitkan dengan persetujuan untuk
operasi ? Harus diketahui terlebih dahulu bahwa hal “tangung gugat” (aanspraakelykheid)
untuk para dokter berlaku ketentuan perdata yang berlaku umum.[7]
3.
Hak atas Rahasia Kedokteran
Keterangan
yang diperoleh dokter dalam melaksanakan profesinya, dikenal dengan nama
“rahasia kedokteran”. Dokter berkewajiban untuk merahasiakan keterangan tentang
pasien, penyakit pasien. Kewajiban dari dokter ini menjadi hak pasien, sebagaimana diatur dan dijelaskan
dalam Pasal 48 Undang – Undang Nomor 2009 Tahun 2004
tentang Prakrik Kedokteran.
Hak atas
rahasia kedokteran adalah hak individu dari pasien. Hak individu ini akan
dikesampingkan dalam hal hak masyarakat menuntut, misalnya penyakit pasien akan
membahayakan masyarakat (penyakit menular), maka dokter meskipun pasien menolak
untuk dibuka rahasia kedokterannya, mempunyai kewajiban untuk membuka rahasia
tersebut kepada pihak yang berwenang.
4.
Hak atas Pendapat Kedua (second
opinion)
Dimaksud
dengan pendapat kedua adalah “Adanya kerjasama antara dokter pertama dengan
dokter kedua. Dokter pertama akan memberikan seluruh hasil pekerjaannya kepada
dokter kedua”.[8] Kerjasama ini bukan atas inisiatif dokter
yang pertama, tetapi atas inisiatif pasien atau merupakan hak dari pasien.
Dalam hak
atas pendapat yang kedua, dokter kedua akan mempelajari hasil kerja dokter
pertama dan bila ia melihat perbedaan pendapat, maka ia akan menghubungi dokter
dokter pertama, membicarakan tentang perbedaan diagnosa yang dibuat keduanya.
5. Hak untuk Melihat Rekam Medik
Pengertian tentang rekam medik
menurut Pasal 1 butir (a) Permenkes No. 749a/1989 adalah sebagai berikut :
“Rekam medik adalah berkas yang berisi catatan dan
dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan
pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan”.
Pasal 2 Permenkes No.749a/1989, menetapkan sebagai
berikut :
“Setiap sarana pelayanan kesehatan yang melakukan
pelayanan rawat jalan maupun rawat nginap wajib membuat rekam medik”.
Rekam medik dihubungkan dengan
pemilik isi rekam medik tersebut, yaitu pasien, maka pasien berhak penuh untuk
mengetahui apa saja yang ditulis dokter mengenai penyakitnya, sebagaimana
diatur dan dijelaskan dalam Pasal 46 Undang – Undang Nomor 2009 Tahun 2004
tentang Prakrik Kedokteran.
6.
Hak - hak yang lain dari pasien
antara lain adalah, hak memilih dokter, hak menolak pengobatan / perawatan, hak
menolak suatu tindakan medik tertentu, hak untuk menghentikan pengobatan / perawatan.
[1] Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum dan Masalah Medik, Airlangga
Press, Surabaya, 2002, hal. 118.
[2] Fred Ameln, Kapita Selekta Hukum
Kedokteran, Grafikatama Jaya, Jakarta, 1991, hal. 14.
[3] Ibid., hal. 28.
[4] Ibid., hal. 29.
[5] Ibid., hal. 31.
[6] Wila Chandrawila , Hukum Kedokteran, Mandar Maju, Bandung,
2001, hal. 13.
[7] Fred Ameln, Op.Cit., hal. 41.
[8] Wila Chandrawila, op.cit, hal. 21.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar