A.
Latar Belakang Masalah
Fenomena yang dapat kita ketahui dan rasakan
bersama bahwa hingga saat ini masih saja marak ditemui adanya kasus atau
perlakuan yang kurang menguntungkan yang menimpa perempuan-perempuan di
Indonesia. Kekerasan dapat
terjadi tanpa memandang tempat dan dalam segala bentuk. Kekerasan terhadap perempuan
merupakan suatu bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia dan kejahatan terhadap
martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus.
Ketidakpedulian
masyarakat dan Negara terhadap masalah kekerasan dalam rumah tangga, terjadi
karena adanya ideologi gender dan budaya patriarki. Gender adalah peran sosial
dan karakteristik laki-laki yang dihubungkan atas jenis kelamin (seks).
Sedangkan Patriarki adalah budaya yang menempatkan patriarki sebagai yang utama
atau superior dibanding perempuan.
Akibat
ideologi gender dan budaya Patriarki tersebut berpengaruh juga terhadap
ketentuan di dalam Undang-Undang Perkawinan yang membedakan peran laki-laki
sebagai kepala rumah tangga dan perempuan sebagai ibu rumah tangga yang
tersebut di dalam Pasal 31 Undang-Undang Perkawinan, yang melahirkan penilaian
di masyarakat seolah-olah kekuasaan laki-laki sebagai suami sangat besar
sehingga dapat memaksakan kehendaknya, termasuk melalui kekerasan.
Ideologi
patriarki masih hidup di Indonesia dan menjadi basis pengaturan hubungan sosial
di masyarakat dan hubungan politik dalam kehidupan bernegara. Banyak
kesepakatan sosial yang mencerminkan hegemoni laki-laki kurang dimaknai secara
kritis, baik oleh laki-laki yang memegang hegemoni maupun perempuan yang
tersubordinasi. Lemah dan tidak efektifnya perlawanan kaum feminis terhadap
model perkawinan poligami, misalnya terjadi karena mayoritas elemen Negara,
ulama, dan masyarakat tidak menganggap sebagai masalah. Kritik dan perlawanan
terhadap poligami justru dianggap mengancam kemapanan, kohesi sosial, dan
pencetus konflik sosial yang tidak perlu. Semua manusia, laki-laki dan
perempuan, sama-sama berkepentingan terhadap tegaknya keadilan gender. Ini sama
dengan persoalan apartheid yang bukan hanya persoalan bagi kaum berwarna,
tetapi juga bagi orang putih yang terusik oleh praktik-praktik ketidakadilan
dan kesewenang-wenangan kaumnya sendiri. Perjuangan ke arah kesetaraan dan
keadilan gender bukanlah perang perempuan melawan laki-laki, tetapi ideologi
pembebasan melawan ideologi hegemoni dan kesadaran untuk berbagi kuasa melawan
dorongan untuk menguasai.
Masyarakat
yang menganut paham patriarki selalu memandang perempuan sebagai bangsa yang
lemah, mesin pencetak anak, mesin kerja (budak), alat pelampiasan nafsu, barang
jualan (harta kawin), alat tukar (sebagai barang perdamaian), dan lain
sebagainya. Dengan adanya perlakuan seperti itu, maka keberadaan dan kehidupan
perempuan menjadi sepenuhnya berada di bawah kekuasaan laki-laki.
Anggapan
umum yang hingga saat ini masih berlaku di Papua tentang kedudukan kaum
perempuan dalam masyarakat bahwa perempuan berderajat lebih rendah daripada
laki-laki. Anggapan ini tercermin dalam
prasangka-prasangka umum, seperti “seorang isteri harus melayani suami”,
“perempuan itu turut ke surga atau ke neraka bersama suaminya”, dll.
Prasangka-prasangka ini mendapat penguatan dari struktur moral masyarakat yang
terwujud dalam peraturan-peraturan agama dan adat, lagipula sepanjang ingatan
kita, bahkan sejak nenek moyang kita, keadaannya memang sudah seperti itu, tapi
anggapan ini adalah anggapan yang keliru. Para ahli antropologi sudah menemukan
bahwa keadaannya tidaklah selalu demikian.
Budaya
Papua yang menganut sistem paternalistik, secara tidak langsung sering
menempatkan perempuan sebagai “manusia kelas dua” atau sebagai sub-ordinat dari
laki-laki, yaitu bukan sebagai manusia yang setara dengan kaum laki-laki.
Memang perlu diakui bahwa tidak semua suku di Papua menempatkan perempuan dalam
posisi demikian dan juga tidak ada nilai budaya yang konsisten menempatkan
perempuan dalam posisi yang demikian, tetapi pikiran dan perlakuan terhadap
perempuan yang tidak humanis bisa menjadi indikator adanya perendahan nilai
perempuan sebagai manusia.
“Penderitaan
perempuan Papua karena faktor budaya dapat dilihat dari dua hal. Pertama,
adanya “pikiran” bahwa perempuan adalah sub-ordinat dari laki-laki, atau hanya
sekedar pelengkap hidup laki-laki. Kedua, adalah “tindakan” yang
menjadikan perempuan sebagai korban kekerasan”.[1]
Dalam
kenyataannya bahwa hampir semua suku di Papua, mungkin karena faktor budaya
paternalistik, mempunyai pandangan yang berlaku secara umum bahwa perempuan
adalah manusia kelas dua atau sub-ordinat dari laki-laki. Jadi, ada semacam
pemberlakuan strata sosial berdasarkan jenis kelamin. Diri dan nilai perempuan
hanya dinilai dari cap-cap yang diberikan kepada kaum perempuan, misalnya perempuan
hanya dinilai sebagai mesin pencetak anak atau sebagai orang yang memuaskan
birahi laki-laki, selain itu menjadi tulang punggung keluarga dengan mencari
nafkah untuk memberi makan kepada anak dan suaminya.
Dengan
adanya pemahaman seperti disebutkan di atas, maka perempuan jarang atau dapat
dikatakan tidak pernah dilibatkan dalam urusan laki-laki seperti pengambilan
keputusan, penguasaan harta benda dan lainnya, bahkan bagi suku-suku tertentu
keterlibatan perempuan kadang termasuk anak-anak dalam pengambilan keputusan
dan lainnya yang menjadi “urusan laki-laki” sangat ditabukan.
Adanya
pandangan yang kuat seperti ini seringkali menyebabkan perempuan menjadi
korban, terutama “korban pikiran”. Sudah pasti kaum perempuan menyadari bahwa
diskriminasi sedemikian ini menjadi beban hidup bagi dirinya karena dia harus
melahirkan anak dan membesarkannya, mencari nafkah dan kerja berat lainnya,
tetapi mereka juga sadar bahwa hal itu sudah menjadi “takdir budaya” maka harus
diterimanya dengan lapang dada, bahkan lebih jauh, ada pemikiran bahwa jika
perempuan melanggar ketentuan budaya tersebut, maka nilai diri mereka sebagai
manusia akan merosot atau pudar. Jadi, ukuran harga diri bagi perempuan dari
pihak mereka sendiri juga ditentukan oleh mereka sendiri karena faktor budaya
yang terpatri dalam kehidupannya.
Ironisnya,
karena adanya pandangan dari kaum perempuan sendiri bahwa tindakan kekerasan
terhadap dirinya adalah “takdir budaya”, maka hal itu diterima dengan lapang
dada, terutama bagi perempuan yang telah bersuami. Perempuan dituntut untuk
menerima tindakan yang diambil oleh laki-laki, terutama suaminya, bahkan
keluarga pihak istri juga cenderung menyalahkan perempuan karena dinilai telah
menyimpang dari “kodrat”-nya sebagai seorang istri yang mematuhi dominasi
laki-laki. Di beberapa daerah di Papua, pemukulan terhadap seorang istri selain
oleh suami, sering juga melibatkan pihak si istri.
“Ada pengecualian dalam tindakan laki-laki
terhadap perempuan di hampir semua suku di Papua yaitu berkaitan dengan tindakan
laki-laki terhadap perempuan yang belum bersuami (gadis), misalnya jika seorang
laki-laki memperkosa seorang gadis, maka tindakan yang diambil oleh masyarakat
adalah bukan memihak laki-laki yang memperkosanya, tetapi memihak perempuan
korban pemerkosaan. Bahkan, sering berakhir dengan perang yang memakan waktu
cukup lama”.[2]
”Pihak-pihak yang terikat, dengan maksud untuk
menerapkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan sebagaimana terkandung
dalam Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa, mengakui bahwa setiap orang mempunyai
hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan negaranya, secara langsung atau
secara tidak langsung melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas, dan
mempunyai hak serta akses yang sama pada pelayanan publik di negaranya, dan
dengan maksud untuk menyetarakan status laki-laki dan perempuan dalam
memperoleh dan menjalankan hak-hak politik, sesuai dengan ketentuan-ketentuan
dalam piagam Perserikatan Bangsa Bangsa dan Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia”.[3]
Secara umum
ada bukti empiris bahwa negara telah mengambil peran penting untuk memajukan
perempuan. Telah ada landasan hukum yang menjamin kesetaraan dan keadilan
kepada perempuan, yaitu UUD 1945 pada Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, Pasal
28C ayat 1 yang menyatakan setiap orang berhak mengembangkan diri melalui
pemenuhan kebutuhan dasarnya, mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan tekhnologi, seni dan budaya, serta meningkatkan mutu hidup dan
kesejahteraan umat manusia. Landasan hukum lain yang memastikan terciptanya
kesetaraan dan keadilan kepada perempuan adalah UU No.7 Tahun 1984 tentang
pengesahan konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap
perempuan.
Meskipun
demikian keberpihakan Negara terhadap perempuan sebenarnya belum cukup optimal.
Pemerintah, bahkan ikut melanggengkan nilai-nilai sosial yang menyubordinasikan
perempuan, seperti ketika pada zaman orde baru pemerintah mensponsori tumbuhnya
organisasi istri pegawai negeri, istri tentara, dan sebagainya. Selain itu ada
sejumlah UU yang belum cukup responsif pada perempuan.
”Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak
mampu melindungi perempuan korban kekerasan seperti pelecehan seksual,
perkosaan, penganiayaan dan lainnya. Pasal mengenai pembuktian dan keberadaan
saksi telah membuat perempuan korban kekerasan tersebut menjadi kesulitan untuk
meminta perlindungan hukum. Hal ini diperparah oleh cara pandang aparat penegak
hukum yang sarat bias gender dan berasumsi kekerasan tersebut bersumber dari
diri perempuan”.[4]
”UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Tindak
Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan langkah maju untuk melindungi perempuan
dari perlakuan dan ancaman kekerasan yang dialaminya. Namun, UU tersebut belum
dilaksanakan secara konsisten karena aparat penegak hukum pada umumnya belum
cukup sensitif gender dan perempuan yang menjadi korban kekerasan di rumah
tangga sering memilih untuk diam. Selain itu, Undang-Undang tersebut tidak
memasukkan pemerkosaan dalam Rumah Tangga (marital rape) sebagai masalah
hukum, padahal tindakan seperti itu merupakan representasi hegemoni laki-laki
dalam Rumah Tangga yang sangat merugikan perempuan. Sementara itu, UU
Perkawinan No 1 tahun 1974 juga masih bias gender karena pada Pasal 3
disebutkan laki-laki boleh poligami melalui penetapan pengadilan dengan syarat
ada izin dari istri. Poligami merupakan wujud konkrit dari hegemoni laki-laki
dalam rumah tangga dan izin istri tidak meniadakan watak hegemonis dari sistem
perkawinan seperti ini. Persyaratan seperti ini seringkali diabaikan, atau
diberikan oleh istri dalam situasi tertekan”.[5]
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang di atas, maka penulis ingin mengupas beberapa
permasalahan yang dijadikan obyek di dalam penulisan hukum ini adalah :
1.
Bagaimana Bentuk Perlindungan
Hukum terhadap Perempuan Papua korban tindak
kekerasan dalam Perundang-undangan Pidana dan Hukum adat dalam
masyarakat adat Papua ?
2.
Bagaimana penerapan
perundang-undangan pidana terhadap perempuan Papua korban tindak kekerasan
dalam masyarakat adat Papua ?
C.
Landasan Teori
“Kekerasan terhadap perempuan
akhir-akhir ini banyak dibicarakan baik dalam bentuk lokakarnya, seminar,
diskusi maupun dialog publik. Pihak penyelenggara terdiri dari berbagai
kalangan baik dari organisasi pemerintah, non pemerintah maupun para akademisi.
Kekerasan yang berbasis gender, pada dasarnya merupakan kekerasan dimana yang
menjadi korbannya adalah perempuan baik di lingkungan rumah tangga maupun di
luar lingkungan rumah tangga. Dari berbagai jenis kekerasan yang berbasis
gender, seperti perkosaan, pelacuran, pornografi, pelecehan seksual, dsb.
Ternyata yang paling menonjol saat ini adalah kekerasan dalam rumah tangga (domestic
violence), yang dapat digolongkan kepada tindakan kejahatan seperti
pemukulan dan serangan fisik dalam rumah tangga”. [6]
“Tindak kekerasan adalah melakukan kontrol,
kekerasan dan pemaksaan meliputi tindakan seksual, psikologis, fisik danekonomi
yang dilakukan individu terhadap individu yang lain dalam hubungan rumah tangga
atau hubungan intim (karib)”.[7]
Kekerasan terhadap perempuan merupakan konsep
baru, yang diangkat pada Konferensi Dunia Wanita III di Nairobi, yang berhasil
menggalang konsensus internasional atas pentingnya mencegah berbagai bentuk
kekerasan terhadap perempuan dalam kehidupan sehari-hari di seluruh masyarakat
dan bantuan terhadap perempuan koban kekerasan. Oleh karena kekerasan terhadap
perempuan merupakan konsep baru, maka mengenai definisi atau batasan kekerasan
terhadap perempau (baca : istri) dalam rumah tangga nampaknya belum ada definisi
tunggal dan jelas dari para ahli atau pemerhati masalah-masalah perempuan. Walaupun
demikian kirannya perlu dikemukakan beberapa pendapat mengenai hal tersebut.
Kemala Candrakirana mengemukakan kekerasan dalam
rumah tangga adalah :
Perbuatan yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan termasuk penderitaan secara
fisik, seksual, psikologis dan penelantaran, termasuk juga ancaman yang
menghasilkan kesengsaraan di dalam lingkup rumah tangga.[8]
Carwoto
mengatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah :
Kekerasan yang dilakukan oleh suami
terhadap istri atau juga dikenal dengan kekerasan dalam rumah tangga.[9]
“Kekerasan
terhadap perempuan, yaitu setiap tindakan kekerasan berdasarkan jender yang
menyebabkan, atau dapat menyebabkan kerugian atau penderitaan fisik, seksual,
atau psikologis terhadap perempuan, termasuk ancaman untuk melaksanakan
tindakan tersebut dalam kehidupan masyarakat dan pribadi”.[10]
Kekerasan terhadap kaum perempuan adalah segala bentuk kekerasan yang
berdasar pada jender yang akibatnya berupa atau dapat berupa kerusakan atau
penderitaan fisik, seksual, psikologis pada perempuan-perempuan, termasuk
disini ancaman-ancaman dari perbuatan-perbuatan semacam itu, seperti paksaan
atau perampasan yang semena-mena atas kemerdekaan, baik yang terjadi ditempat
umum atau di dalam kehidupan pribadi seseorang. Jadi, kekerasan yang dimaksud
tidak hanya dalam bentuk kekerasan dari segi fisik, melainkan dari segi
non-fisik.
Pengertian kekerasan terhadap perempuan disamping
telah dikemukakan di atas, juga diatur dalam peraturan perundang-undangan
seperti dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Deklarasi Penghapusan
Kekerasan Terhadap Perempuan, dan Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT).
Di dalam KUHP, pengertian kekerasan diatur dalam
Pasal 89 KUHP yang menyatakan bahwa ”membuat orang pingsan atau tidak berdaya
disamakan dengan menggunakan kekerasan”.
Pada Sidang Umum ke 85 tanggal 20 Desember 1993, Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) mengesahkan Deklarasi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Pengertian kekerasan terhadap perempuan, diatur dalam Pasal
1. Adapun bunyi pasal tersebut adalah sebagai berikut :
Pasal 1 :
Kekerasan
terhadap perempuan yaitu setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelami
yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan
secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu,
pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi
di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi.
Mengenai batasan kekerasan terhadap perempuan
yang termuat pada Pasal 1 Deklarasi tersebut, tidak secara tegas disebutkan
mengenai kekerasan dalam rumah tangga tetapi pada bagian akhir kalimat disebutkan
... atau dalam kehidupan pribadi. Kehidupan pribadi dapat dimaksudkan sebagai
kehidupan dalam rumah tangga.
UU No. 23 Tahun 2004, secara tegas mengatur
pengertian kekerasan dalam rumah tangga pada Pasal 1 butir 1. Adapun bunyi
pasal tersebut adalah sebagai berikut :
Pasal 1 butir 1 :
Kekerasan dalam
rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang
berakibat timbulmya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam
dalam lingkup rumah tangga.
Kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga
tidak mestinya terjadinya di dalam rumah tangga, bisa saja kejadiannya di luar
rumah tangga.
Mencermati pendapat dari para ahli mengenai
istilah-istilah yang dipakai untuk menyatakan bentuk-bentuk kekerasan terhadap
perempuan nampaknya belum ada kesamaan istilah, ada yang memakai bentuk-bentuk,
ada yang memakai jenis-jenis.
Berdasarkan
Pasal 2
Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan mengidentifikasi 3 wilayah
di mana kekerasan biasanya terjadi.
1.
Kekerasan
fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam keluarga, termasuk pemukulan,
penyalahgunaan seksual atas perempuan kanak-kanak dalam rumah tangga, kekerasan
yang berhubungan dengan mas kawin, perkosaan dalam perkawinan, pengrusakan alat
kelamin perempuan dan praktik-praktik kekejaman tradisional lain terhadap
perempuan, kekerasan di luar hubungan suami-istri dan kekerasan yang
berhubungan dengan eksploitasi
2.
Kekerasan
secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam masyarakat luas,
termasuk perkosaan, penyalahgunaan seksual, pelecehan dan ancaman seksual di
tempat kerja, dalam lembaga-lembaga pendidikan dan sebagainya, perdagangan
perempuan dan pelacuran paksa
3.
Kekerasan secara fisik, seksual
dan psikologis yang dilakukan atau dibenarkan oleh negara, di manapun
terjadinya.[11]
Menurut Undang-Undang No. 23
Tahun 2004 tindak kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga dibedakan kedalam 4 (empat)
macam :
1. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang
mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Prilaku kekerasan yang
termasuk dalam golongan ini antara lain adalah menampar, memukul, meludahi,
menarik rambut (menjambak), menendang, menyudut dengan rokok, memukul/melukai
dengan senjata, dan sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan nampak seperti
bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau bekas luka lainnya.
2.
Kekerasan psikologis /
emosional
Kekerasan psikologis atau emosional
adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri,
hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan / atau penderitaan
psikis berat pada seseorang.
Perilaku kekerasan yang termasuk
penganiayaan secara emosional adalah penghinaan, komentar-komentar yang
menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolir istri dari dunia luar,
mengancam atau ,menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan kehendak.
3.
Kekerasan seksual
Kekerasan jenis ini meliputi
pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan batinnya, memaksa melakukan
hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan
pihak istri.
4.
Kekerasan ekonomi
Setiap orang dilarang menelantarkan
orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya
atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan,
perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Contoh dari kekerasan jenis
ini adalah tidak memberi nafkah istri, bahkan menghabiskan uang istri.[12]
Kristi E Purwandari dalam Archie Sudiarti
Luhulima mengemukakan beberapa bentuk kekerasan sebagai berikut :
1. Kekerasan fisik , seperti :
memukul, menampar, mencekik dan sebagainya.
2. Kekerasan psikologis, seperti
: berteriak, menyumpah, mengancam, melecehkan dan sebagainya.
3. Kekerasan seksual, seperti :
melakukan tindakan yang mengarah keajakan/desakan seksual seperti menyentuh,
mencium, memaksa berhubungan seks tanpa persetujuan korban dan lain sebagainya.
4. Kekerasan finansial, seperti :
mengambil barang korban, menahan atau tidak memberikan pemenuhan kebutuhan
finansial dan sebagainya.
5. Kekerasan spiritual, seperti :
merendahkan keyakinan dan kepercayaan korban, memaksa korban mempraktekan
ritual dan keyakinan tertentu [13]
Berkaitan dengan bentuk-bentuk
kekerasan terhadap perempuan, Sukerti dalam laporan penelitiannya di Kota
Denapasar mengatakan sebagai berikut :
1. Kekerasan fisik. Contoh :
dipukul dengan tangan, dipukul dengan sendok, ditentang, dicekik, dijambak,
dicukur paksa, kepala dibentukan ke tembok.
2. Kekerasan psikologis. Contoh :
diancam, disumpah, pendapat korban tidak pernah dihagai, dilarang bergaul,
tidak pernah diajak timabang pendapat, direndahkan dengan mengucapkan kata-kata
yang sifatnya merendahkan posisi perempuan.
3. Kekerasan ekonomi. Contoh :
membebankan biaya rumah tangga sepenuhnya kepada istri (istri yang bekerja
secara formal) atau tidak memberikan pemenuhan finansial kepada istri. Jadi menelantarkan rumah
tangga [14]
Dalam hal terjadi kasus tindak
kekerasan terhadap perempuan, seringkali perempuan kurang memiliki keberanian
untuk melapor. Seperti yang terjadi pada kasus Ceplis yang telah diperkosa oleh
tiga pemuda pada tanggal 30 September 2001 di Cilacap[15]. Sedangkan korban melapor ke
Polisi pada tanggal 8 Oktober 2001. Selisih antara waktu kejadian dengan waktu
pelaporan yang cukup lama mengindikasikan adanya ketidakberanian korban dalam
menghadapi kasus kekerasan yang dialaminya dan juga tentunya trauma yang
dialami korban setelah kejadian tersebut. Kondisi ini akan bertambah berat bagi
korban ketika menjalani proses pemeriksaan di kepolisian. Pada saat
pemeriksaan, korban akan menjadi korban untuk kedua kalinya, karena harus
menceritakan kembali peristiwa tragis yang dialaminya. Tanpa disadari, korban
akan mengalami tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.[16]
Kekerasan adalah sebuah
fenomena lintas sektoral dan tidak berdiri sendiri atau terjadi begitu saja.
Secara prinsif ada akibat tentu ada penyebabnya. Dalam kaitan itu Fathul
Djannah mengemukakan beberapa faktornya yaitu :
1.
Kemandirian ekonomi istri. Secara umum ketergantungan istri terhadap suami
dapat menjadi penyebab terjadinya kekerasan, akan tetapi tidak sepenuhnya
demikian karena kemandirian istri juga dapat menyebabkan istri menerima
kekerasan oleh suami.
2.
Karena pekerjaan istri. Istri bekerja di luar rumah dapat menyebabkan istri
menjadi korban kekerasan.
3.
Perselingkuhan suami. Perselingkuhan suami dengan perempuan lain atau suami
kawin lagi dapat melakukan kekerasan terhadap istri.
4.
Campur tangan pihak ketiga. Campur tangan anggota keluarga dari pihak
suami, terutama ibu mertua dapat menyebabkan suami melakukan kekerasan terhadap
istri.
5.
Pemahaman yang salah terhadap ajaran agama. Pemahaman ajaran agama yang
salah dapat menyebabkan timbulnya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah
tangga.
6.
Karena kebiasaan suami, di mana suami melakukan kekerasan terhadap istri
secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.[17]
Sementara itu Aina Rumiati
Azis mengemukakan faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap
perempuan yaitu :
1. Budaya patriarki yang
mendudukan laki-laki sebagai mahluk superior dan perempuan sebagai mahluk
interior.
2. Pemahaman yang keliru terhadap
ajaran agama sehingga menganggap laki-laki boleh menguasai perempuan.
3. Peniruan anak laki-laki yang
hidup bersama ayah yang suka memukul, biasanya akan meniru perilaku ayahnya.[18]
Berkaitan dengan faktor-faktor
penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan, Sukerti mengemukakan sebagai
berikut :
1. Karena suami cemburu.
2. Suami merasa berkuasa.
3. Suami mempunyai selingkuhan
dan kawin lagi tanpa ijin.
4. Ikut campurnya pihak ketiga
(mertua).
5. Suami memang suka berlaku
kasar (faktor keturunan).
6. Karena suami suka berjudi [19]
”Dari
beberapa faktor penyebab terjadi kekerasan terhadap perempuan seperti telah
disebutkan di atas faktor yang paling dominan adalah budaya patriarki. Budaya
patriarki ini mempengaruhi budaya hukum masyarakat. Kekerasan terhadap
perempuan dalam rumah tangga dapat berakibat buruk terutama terhadap si korban,
anak-anak yakni dapat berpengaruh terhadap kejiwaan korban dan perkembangan
kejiwaan si anak dan juga berdampak pada lingkungan sosial. Di samping itu
dampak kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga yaitu dampak medis,
seperti memlukan biaya pengobatan. Dampak emosional seperti depresi, penyalahan
obat-obatan dan alkohol, setres pasca trauma, rendahnya kepercayaan diri.
Dampak pribadi seperti anak-anak yang hidup dalam lingkungan kekerasan berpeluag
lebih besar bahwa hidupnya akan dibimbing oleh kekerasan, anak yang menjadi
saksi kekerasan akan menjadi trauma termasuk di dalam perilaku anti sosial dan
depresi”.[20]
Kekerasan terhadap perempuan telah terjadi
selama ribuan tahun, dilegitimasi oleh berbagai lembaga mapan, dikuatkan oleh
tradisi-tradisi dan tafsir agama, dan dilanggengkan oleh kekuasaan baik
struktural maupun kultural. Sehingga kekerasan terhadap perempuan sampai saat
ini menjadi masalah yang tidak pernah selesai dan membutuhkan banyak energi,
pikiran dan hati nurani untuk menyelesaikannya. Kekerasan terhadap perempuan
terjadi dan mengakar dalam masyarakat dikarenakan oleh :
1.
Budaya
patriarkhi
Budaya patriarkhi dimana perempuan
ditempatkan sebagai subordinate dan laki-laki sebagai ordinat, laki-laki yang
superior dan perempuan inferior. Sehingga kepentingan laki-laki lebih
diutamakan dan kepentingan perempuan dikonstruk sedemikian rupa untuk memenuhi kepentingan
laki-laki. Dalam masyarakat,
perempuan dianggap merupakan “milik” laki-laki atau masyarakat (komunitas).
Sehingga setiap tingkah lakunya dikontrol yang menyebabkan perempuan kehilangan
kendali atas tubuh dan bahkan jiwanya. Dalam kondisi seperti ini perempuan
berada dalam posisi yang rentan terhadap kekerasan yang dilakukan oleh individu
maupun komunitas serta sulit terbebas dari siklus kekerasan yang terjadi
tersebut. Konstruk tersebut tersosialisasi atau terdogmatisasi dengan
pendidikan dalam baik dalam keluarga, masyarakat maupun lembaga, regulasi,
tradisi, norma, mitos, bahkan slogan atau simbol atau becandaan (joke) yang mendiskriditkan perempuan.
2.
Sistem hukum yang belum memadai
Terdapat beberapa kasus yang sebenarnya
bisa dikategorikan kekerasan seksual namun belum ada instrument yang dapat
mengakomodirnya. Misalnya pelecehan seksual yang sering terjadi tidak dapat
dijerat pelakunya karena tidak mencukupi unsurya untuk kasus pencabulan atau
perkosaan. LBH APIK Jakarta seringkali menangani kasus ingkar janji namun
sampai saat ini belum pernah sampai pada proses hukum karena belum ada
instrument hukumya. Selain itu perkembangan bentuk-bentuk perkosaan yang juga
belum diakomodir dalam pasal tentang perkosaan. Masih ada aparat hukum yang
belum responsive dan peka terhadap trauma yang dialami oleh perempuan korban
sehingga korban sering merasa terpojok dan mengalami revictimisasi. Terkadang
aparat juga menggunakan pasal-pasal yang tidak relevan dengan kasus sehingga
tidak memberikan keadilan dan mereduksi nilai kekerasan yang dialami oleh
perempuan. Misalnya kasus perkosaan menjadi kasus pencabulan. Bahkan dalam
beberapa kasus terdapat aparat yang memeras korban. Penegakan hukum yang lemah
berimplikasi pada keadilan yang diterima oleh korban. Instrumen yang ada belum
sepenuhnya dilaksanakan, sehingga korban tidak memperoleh perlindungan dengan
adanya hukum yang berlaku.
3.
Kebijakan pemerintah, peran tokoh agama dan tokoh
masyarakat
Kebijakan pemerintah seringkali
mendiskriminasikan perempuan sehingga perempuan tidak memperoleh atau bahkan
terlanggar hak-haknya. Kebijakan ini juga kemudian menjadi penyebab terjadinya
kekerasan terhadap perempuan. Peran tokoh agama dalam menafsirkan ayat-ayat
yang cenderung pada legitimasi kepentingan laki-laki sehingga kekerasan yang
terjadi pada perempuan dianggap wajar dan sudah selayaknya menurut ”agama”. Tokoh masyarakat dengan perangkatnya
berperan dalam melakukan kekerasan dengan menjadi panutan dan patron dalam
masyarakat.[21]
Dalam Undang-Undang
No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua telah mengamanatkan adanya 2
sistem peradilan, selain kekuasaan kehakiman juga adanya peradilan adat dalam
masyarakat hukum adat tertentu. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 50. Adapun
bunyi pasal tersebut adalah sebagai berikut :
Pasal 50 :
1.
Kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua dilaksanakan oleh
Badan Peradilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2.
Di samping kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), diakui adanya peradilan adat di dalam masyarakat hukum adat tertentu.
Berdasarkan
Putusan Mahkamah Agung dalam perkara
nomor 1644K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991, menegaskan bahwa putusan peradilan
adat yang telah dilaksanakan terdakwa mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan
putusan peradilan umum. Kalau perkara itu diajukan lagi ke peradilan umum
(pengadilan negeri), itu sama saja dengan ne bis in idem.
Mengenai Peradilan
Adat diatur lebih lanjut dalam Pasal 51. Adapun bunyi pasal tersebut adalah
sebagai berikut :
Pasal 51 :
(1).
Peradilan
adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang
mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara
pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
(2). Pengadilan adat disusun menurut ketentuan hukum adat
masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
(3).
Pengadilan
adat memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat
yang bersangkutan.
(4). Dalam hal salah satu pihak yang bersengketa atau yang
berperkara berkeberatan atas putusan yang telah diambil oleh pengadilan adat
yang memeriksanya sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pihak yang berkeberatan
tersebut berhak meminta kepada pengadilan tingkat pertama di lingkungan badan
peradilan yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili ulang sengketa atau
perkara yang bersangkutan.
(5).
Pengadilan
adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana penjara atau kurungan.
(6).
Putusan pengadilan
adat mengenai delik pidana yang perkaranya tidak dimintakan pemeriksaan ulang
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (4), menjadi putusan akhir dan berkekuatan
hukum tetap.
(7).
Untuk
membebaskan pelaku pidana dari tuntutan pidana menurut ketentuan hukum pidana
yang berlaku, diperlukan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan dari Ketua
Pengadilan Negeri yang mewilayahinya yang diperoleh melalui Kepala Kejaksaan
Negeri yang bersangkutan dengan tempat terjadinya peristiwa pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
(8). Dalam hal permintaan pernyataan persetujuan untuk
dilaksanakan bagi putusan pengadilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (7)
ditolak oleh Pengadilan Negeri, maka putusan pengadilan adat sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) menjadi bahan pertimbangan hukum Pengadilan Negeri dalam
memutuskan perkara yang bersangkutan.
Jadi pada akhirnya
berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis menyoroti pada peranan
perundang-undangan pidana dalam tindak kekerasan terhadap perempuan.
Dalam penelitian ini, penulis membatasi ruang lingkup pembahasannya
mengenai bagaimana bentuk perlindungan peranan perundang-undangan pidana dalam
tindak kekerasan terhadap perempuan Papua, serta bagaimana penerapan
perundang-undangan pidana terhadap perempuan Papua korban tindak kekerasan
dalam masyarakat adat Papua
[1] Mekaa D. Gobay, Perempuan Papua Barat, Dalam Kekerasan Militer,
Budaya, Ekonomi, dan Kesehatan, Penerbit : Sumbangsih Press, Yogyakarta,
2007, hal. xiv.
[3] Muhadjir M. Darwin, Negara dan Perempuan, Reorientasi Kebijakan
Publik, Penerbit : Media Wacana, Yogyakarta, 2005, hal. 71.
[4] Ibid., hal. 90-91.
[5] Ibid. hal. 91.
[6] Rika Saraswati, Perempuan dan
Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah Tangga, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2006, hal. 16.
[7] Kristi E. Purwandar, Kekerasan Terhadap Perempuan Bentuk Sebuah Patriarki, www.sekitarkita.com, diakses pada tanggal 5 September 2009, hal. 1.
[8] Kemala Candrakirana, Hentikan Kekerasan
Dalam Keluarga, www.pontianakpost.com,
diakses pada tanggal 5 September 2009, hal. 4.
[9] Carwoto, Mengungkap Dan Mengeliminasi
Kekerasan Terhadap Istri, dalam Menggugat Harmoni, Rifka
Anisa, Yogyakarta, 2000, hal. 85.
[10] Apong Herlina, Kekerasan terhadap Perempuan di Dunia
Kerja, Seminar Jender dan Kekerasan: Gambaran Masalah dan Tinjauan
ke Depan dan Peluncuran Paket Prosiding Studi Jender dan Pembangunan, Depok:
Pusat Kajian Wanita dan Jender Universitas Indonesia, September 1998, hal. 4.
[11] Deklarasi Penghapusan Kekerasan
terhadap Perempuan : Forum Komunikasi Ormas/LSM untuk Perempuan,
Jakarta , 1994, hal. 12..
[12] Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dipengaruhi
Faktor Idiologi, http://kompas.com, diakses
pada tanggal 5 September 2009.
[13] Kristi E. Purwandar, Kekerasan Terhadap
Perempuan: Tinjauan Psikologis Feminis”, dalam Pemahaman Bentuk-Bentuk
Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Alternatif Pemecahannya, Editor Archie
Sudiarti Luhulima, Kajian Wanita Dan Gender, Universitas Jakarta, 2002, hal. 11
[14] Ni Nyoman Sukerti, Kekerasan Terhadap
Perempuan Dalam Rumah Tangga : Kajian Dari Perspektif Hukum Dan Gender (Studi
Kasus Di Kota Denapasar), Tesis, Program Pascasarjana, Universitas
Udayana, 2005, hal. 70.
[18] Aina Rumiati Aziz, Perempuan
Korban Di Ranah Domestik, www.indonesia.com, diakses pada tanggal 5 September 2009, Hal. 2.
[19] Ni Nyoman Sukerti, Op. Cit., hal.
84.
[20] Kristi E. Purwandar, Kekerasan DalamRumah Tangga, www.terangdunia.com, diakses pada tanggal 5 September 2009, hal. 1.
[21] Dewita Hayu Shinta, perjuangan berat
perempuan Indonesia menggapai keadilan di tengah berbagai keterpurukan, LBH
APIK Jakarta, catatan awal tahun 2007, Hal. 1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar