A. Latar Belakang Masalah
Keadaan yang mendukung untuk
meningkatnya pelanggaran dimungkinkan tercipta karena perubahan perubahan yang
terjadi di masyarakat. Hal ini juga berjalan seiring dengan melemahnya kontrol
terhadap perbuatan perbuatan yang melanggar tatanan norma norma baik ketertiban
umum, kesusilaan, kesopanan maupun agama. Di satu sisi norma hukum dibutuhkan
untuk dapat menjaga ketentraman dan ketertiban dalam masyarakat dengan sanksi
sanksi tegas yang dimilikinya, etika upaya upaya pendekatan normatif
kemasyarakatan tidak memberikan hasil yang signifikan.
Perkembangan masyarakat membawa
peningkatan kejahatan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Aturan aturan
hukum yang dibuat terkadang tidak mampu untuk mengikuti ritme dari perubahan.
Perbuatan yang dianggap melanggar oleh masyarakat, dalam sudut pandang hukum
belum tentu dapat dikatakan sebagai suatu pelanggaran. Hal ini dikarenakan
belum ada aturan yang mengatur perihal tersebut. Kelambanan ini tidak lepas
dari sifat hukum yang prosedural dan berpijak pada asas legalitas.
Tingkat kemajuan dari masyarakat Indonesia secara tidak langsung telah banyak merubah tatanan
sistem sosial yang terbangun di masyarakat. Perubahan terhadap sistem sosial
ini juga telah mempengaruhi cara berpikir dan merubah karakter masyarakat dalam
memandang kebiasaan dan pelanggaran pelanggaran, seperti pelanggaran ketertiban
umum atau pelanggaran lalu lintas yang banyak dilakukan oleh anggota
masyarakat.
Individu maupun anggota masyarakat
yang melakukan pelanggaran lalu lintas tersebut akan berhadapan dengan aparat
penegak hukum maupun lembaga peradilan melalui proses penegakan hukum. Di dalam
Pasal 1 Undang Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan
bahwa :
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia, sehingga
lembaga peradilan khususnya putusan hakim mempunyai kedudukan yang strategis
dalam politik kriminal guna menanggulangi kejahatan dan menciptakan
perlindungan serta keamanan masyarakat.
Berdasarkan ketentuan tersebut,
masyarakat berhak mendapatkan perlindungan hukum yang layak, sehingga dalam
penegakan hukum mampu mengakomodasi kepentingan masyarakat banyak, dengan
demikian hukum bukan sebagai ancaman, namun mampu melindungi masyarakat.
Pasal 4 ayat (2) Undang Undang Nomor
4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa: “Peradilan dilakukan
dengan sederhana, cepat dan biaya ringan”. Di dalam asas tersebut diharapkan
peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya murah, hal ini
dimaksudkan bahwa sederhana peraturannya, yang berarti sederhana untuk dipahami
dan tidak berbelit belit. Cepat berarti tidak berlarut larut proses
penyelesaiannya. Biaya ringan berarti bahwa biaya untuk mencari keadilan itu
dapat terpikul oleh rakyat.
Berdasarkan rumusan tersebut
diharapkan agar lembaga peradilan sebagai penyelenggara keadilan mampu berdiri
sendiri (independent) dan mampu
menyelenggarakan suatu proses persidangan dengan cepat tanpa banyak membuang
waktu dan energi, sederhana dan tidak rumit, sehingga dapat dipahami setiap
orang, yang terpenting adalah penyelenggaraan proses peradilan dengan biaya
murah, hal ini dimaksudkan agar masyarakat yang terlibat dalam suatu proses
perkara di Pengadilan mampu menjangkau seluruh biaya yang dikeluarkan
menghadapi proses persidangan tersebut.
Melalui Penjelasan Umum Atas Undang
Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman butir (8) tertuang
penjelasan sebagai berikut :
Ketentuan bahwa Peradilan Dilakukan Dengan Sederhana, Cepat Dan
Biaya Ringan tetap harus dipegang teguh yang tercermin dalam undang-undang
tentang Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata yang memuat
peraturan-peraturan tentang pemeriksaan dan pembuktian yang jauh lebih
sederhana.
Pencantuman peradilan cepat (constante justie: speedy trial) di dalam
KUHAP cukup banyak yang diwujudkan dengan istilah “segera” itu. Asas peradilan
cepat, sederhana, dan biaya murah yang dianut di dalam KUHAP sebenarnya
merupakan penjabaran Undang Undang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
tersebut. Peradilan cepat merupakan bagian dari hak-hak asasi manusia. Begitu
pula peradilan bebas, jujur, dan tidak memihak yang ditonjolkan dalam
undang-undang tersebut.
Peradilan yang cepat terutama
ditujukan untuk menyelesaikan perkara-perkara tindak pidana ringan seperti,
pelanggaran lalu lintas. Di dalam pemeriksaan acara secara cepat khususnya
pemeriksaan terhadap perkara pelanggaran lalu lintas, maka para aparat penegak
hukum khususnya Polisi dan Hakim dituntut untuk bekerja secara efektif dan
efisien. Terlebih saat ini telah diberlakukan Undang Undang Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Di dalam undang undang tersebut ada ketentuan baru tentang larangan dan
kewajiban pengemudi kendaraan bermotor.
Banyaknya
pelanggaran yang dilakukan oleh anak merupakan problem yang harus dihadapi oleh
aparat penegak hukum yang berwenang dalam pelanggaran tersebut. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang penyelesaian perkara
pelanggaran lalu lintas, maka akan dilakukan penelitian tentang, “Proses Penyelesaian Pelanggaran Lalu Lintas
Tentang Surat Izin Mengemudi yang dilakukan oleh anak Menurut Undang Undang
Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas,
maka penulis dapat merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.
Bagaimana proses penyelesaian
pelanggaran Surat Izin Mengemudi menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, khususnya mengenai Surat Izin Mengemudi
bagi anak di bawah 17 tahun, di bawah umur 20 tahun dan di bawah umur 21 tahun
?
2.
Hambatan-Hambatan apa yang
dihadapi aparat penegak hukum dalam proses penyelesaian pelanggaran Surat Izin
Mengemudi menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan ?
C. Tinjauan Pustaka
Bambang Poernomo menguraikan
asas-asas hukum adalah sebagai berikut: “Asas asas hukum merupakan ungkapan hukum
yang bersifat umum, pada sebagian berasal dari kesadaran hukum serta keyakinan
kesusilaan atau etis kelompok manusia dan pada sebagian yang lain berasal dari
dasar pemikiran di balik peraturan undang-undang serta yurisprudensi”.[1]
Berdasarkan pengertian tersebut
membawa konsekuensi bahwa kedudukan asas hukum tersebut menjadi unsur pokok dan
dasar terpenting dari suatu peraturan hukum, oleh karena itu asas asas hukum
sangat penting peranannya di dalam pelaksanaan suatu sistem hukum, asas asas
hukum dapat menjamin penerapan suatu peraturan hukum di tengah tengah
masyarakat dapat dilakukan secara baik dan tidak secara kaku dengan tetap
menitikberatkan kepastian hukum.
Salah satu asas yang dianut di dalam
hukum acara pidana adalah, asas cepat, sederhana dan biaya murah. Tujuan utama
dari asas cepat, sederhana dan biaya murah adalah mewujudkan proses peradilan
yang terselenggara dengan baik dan mewujudkan hukum acara pidana sebagai salah
satu sarana hukum yang bersifat melayani kepentingan rakyat banyak dalam
memenuhi kebutuhan hukum, sehingga masyarakat terutama pencari keadilan akan
merasa puas karena terciptanya keadilan yang didambakan.
Proses perkara pidana yang
dilaksanakan dengan cepat diartikan menghindarkan segala rintangan yang
bersifat prosedural, agar tercapai efisiensi kerja mulai dari kegiatan
penyelidikan sampai dengan pelaksanaan keputusan akhir dapat selesai dalam
waktu yang relatif singkat. Proses perkara pidana yang sederhana diartikan
penyelenggaraan administrasi peradilan secara terpadu agar pemberkasan perkara
dari masing masing instansi yang berwenang berjalan dalam satu kesatuan yang
tidak memberikan peluang saluran bekerja secara berbelit-belit (circuit court). Proses perkara pidana
dengan biaya murah diartikan menghindarkan sistem administrasi perkara dan
mekanisme bekerjanya para petugas yang mengakibatkan beban biaya bagi yang
berkepentingan atau masyarakat (social
costs) yang tidak sebanding, karena biaya yang dikeluarkan lebih besar dan
hasil yang diharapkan lebih kecil.
1.
Pemeriksaan pendahuluan atau sering disebut dengan istilah vooronderzoek, dan
2.
Pemeriksaan akhir dalam
sidang pengadilan yang juga disebut “eind
onderzoek.
Pemeriksaan pendahuluan dimaksudkan untuk menyiapkan hasil interogasi secara tertulis dari tersangka dan
pengumpulan bahan yang menjadi
barang bukti atau alat bukti dalam suatu rangkaian bekas perkara, serta kelengkapan pemeriksaan lainnya sebagai
syarat untuk dapat menyerahkan
perkara kepada pengadilan.
Kegiatan pemeriksaan pendahuluan yang
demikian itu (voorbreiden onderzoek/voorlopige
onderzoek) dapat diperinci
menjadi tindakan : penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.[3]
Penyelidikan merupakan awal wewenang pemeriksaan
perkara dan upaya lainnya yang mendahului dari pada tugas penyidikan.
Pengertian tugas penyidikan dan penyelidikan ditentukan dalam Pasal 1
sub 2 dan 5 KUHAP yang isinya mencoba menunjukkan pembatasannya
masing-masing, akan tetapi justru menjadi kabur lagi setelah
membaca rumusan perincian tugas dalam Pasal 5 dan 6 KUHAP. Sebagaimana
tercantum dalam Pasal 5 ayat (l) angka 2 KUHAP bahwa tugas
penyelidik adalah mencari keterangan dan barang bukti, akan tetapi
ternyata tidak tampak pada pengertian authentik penyelidikan dalam perumusan Pasal 1 sub 5
KUHAP.
Menurut KUHAP, tindakan penyelidikan adalah
serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa
yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya
dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang undang. Penyidikan menurut ketentuan
Pasal 1 (2) KUHAP adalah :
Serangkaian
tindakan penyidik dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang undang ini untuk mencari serta mengumpulkan
bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Kewenangan bertindak antara penyelidikan dan penyidikan pada dasarnya ada kesamaan wewenang kepolisian,
perbedaannya terletak pada keterbatasan
wewenang yang diberikan terhadap petugas penyelidik jika dibandingkan
dengan wewenang dari petugas penyidik.
Pada
masa ketentuan
HIR dahulu dibedakan antara tugas/wewenang opsporing (dapat menjalankan
penyidikan terbatas untuk membuat
relas), dan wewenang nasporing (dapat
menjalankan penyidikan dalam arti penyelesaian
pemeriksaan pendahuluan) oleh hulpmagijiri untuk membuat proses
verbal.
Penuntutan merupakan tindakan berlanjut setelah
selesai penyidikan dan tidak ada alasan penghentian penyidikan karena
kurang bukti atau bukan perbuatan pidana, atau penghentian
penuntutan demi kepentingan hukum.
Pengertian penuntutan dalam Pasal 1 ayat (7) KUHAP
adalah :
Tindakan
penuntut umum untuk melimpahkan perkara
pidana ke Pengadilan Negeri yang
berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan
diputus oleh hakim di sidang
pengadilan.[4]
Pemeriksaan sidang pengadilan merupakan kelanjutan
bagian akhir perkara
pidana untuk menguji hasil pemeriksaan pendahuluan agar diperoleh bahan final
melalui pencocokan antara hal ikhwal yang dituduhkan dengan hal-ikhwal dari
data-data atau fakta fakta yang terungkap di muka sidang pengadilan. Bahan
final yang diperoleh dari pemeriksaan
sidang pengadilan akan menjadi dasar pertimbangan putusan pengadilan.
Dalam praktek di Pengadilan Negeri pada umumnya suatu putusan hakim mempergunakan rumusan penutup bahwa: “berdasarkan pertimbangan
pertimbangan sebagaimana uraian tersebut di atas dan menghubungkan fakta yang satu dengan lainnya, maka timbullah keyakinan
hakim”.[5]
Tahap perkara pidana yang disusun berdasarkan
wewenang petugas penegak hukum, terbagi atas :
1.
Tahap penyelidikan dan penyidikan.
2.
Tahap penuntutan.
3.
Tahap persidangan dan penentuan putusan pengadilan.
4.
Tahap pelaksanaan eksekusi putusan hakim.
Polisi Negara Republik Indonesia ,
petugas kepolisian yang ditunjuk, dan pegawai negeri
sipil tertentu menurut peraturan perundang undangan mempunyai hak dan kewajiban dalam proses perkara pidana pada
tahap penyelidikan dan penyidikan.
Perkara pidana pada tahap
penyelidikan dan penyidikan masih banyak
mempergunakan tindakan kepolisian (police investigation), dan mempunyai
ciri tidak terbuka untuk umum demi untuk kepentingan perkara itu sendiri apabila perlu tindakan kepolisian diselenggarakan
secara tertutup. Sifat tindakan
kepolisian yang demikian itu, seringkali berakibat terjadi pertentangan antara kepentingan
penyelidikan atau penyidikan dan kepentingan
bantuan hukum bagi terdakwa.[6]
Tahap penuntutan
menjadi salah satu tugas kejaksaan. Menurut ketentuan Pasal 2 (l.a) dan Pasal 1
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Pokok Kejaksaan disebutkan bahwa :
Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Kejaksaan ialah alat
negara penegak hukum terutama bertugas sebagai penuntut umum.
Berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok-pokok Kejaksaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tindakan penuntutan merupakan wewenang penuntut umum yang dilaksanakan oleh
kejaksaan dan kekuasaan kejaksaan ini
dilakukan oleh Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri.
Seorang jaksa yang ditunjuk dari tiga urutan instansi
kejaksaan dapat bertugas menjadi penuntut umum. Kejaksaan menjadi wakil negara untuk melakukan
penuntutan.
Sehubungan dengan tugas
kejaksaan sebagai penuntut umum dan penunjukan seorang jaksa dari ketiga urutan instansi
kejaksaan untuk melakukan
penuntutan itu, kiranya perlu diperjelas rumusan Pasal 15 dan 137 KUHAP mengenai isi kalimat tindak pidana
yang terjadi dalam daerah hukumnya apabila diberikan arti kompetensi relatif
kejaksaan, ternyata wilayah kekuasaannya
lebih luas dibandingkan dengan kompetensi
relatif pengadilan.[7]
Tahap pemeriksaan
sidang dan keputusan di pengadilan menjadi tugas Hakim yang tersusun secara
majelis atau tunggal menurut ketentuan undang-undang. Semenjak Hakim membuat surat penetapan sidang yang memuat dari sidang,
pemanggilan terdakwa dan saksi-saksi, dan hal-hal lain yang perlu untuk
persidangan, merupakan saat-saat yang amat
penting untuk mengadu argumentasi dari setiap fakta yang diajukan antara
pihak yang menuntut dan pihak lain
yang dituntut.
Hakim pemimpin
sidang pengadilan memegang peranan yang aktif dengan pengertian bukan secara aktif melibatkan diri dalam
adu argumentasi dan bertindak
sebagai integrator yang sekaligus
menjadi pimpinan imperium of judges. Peranan hakim sebagai penjamin ditaatinya aturan
beracara, oleh para pihak dan secara aktif
mampu menginterprestasi undang-undang menurut hukum bersumber dari azas-azas
hukum atau teori-teori hukum, dan trampil
mengambil konklusi untuk bahan keputusan yang diperoleh dari penerapan
hukum terhadap keadaan/kenyataan obyektif
yang direduksi secara teliti.[8]
Jaksa pada setiap kejaksaan mempunyai tugas pelaksanaan eksekusi putusan
hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan untuk keperluan itu didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim,
atau surat keterangan pengganti kutipan
putusan hakim. Selain itu jaksa sebagai penuntut umum pada setiap kejaksaan
juga mempunyai tugas melaksanakan penetapan hakim Pidana.
Tugas pelaksanaan
eksekusi putusan hakim sebagai tahap terakhir perkara
pidana dimaksudkan menjalankan pekerjaan melaksanakan putusan hakim
dalam arti terbatas hanya untuk tugas eksekusi saja oleh Jaksa. Putusan hakim
dapat ditetapkan dari berbagai jenis pidana yang terdapat di dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana atau aturan hukum lainnya yang sah, dan selanjutnya
pelaksanaan putusan berbagai jenis pidana tersebut diatur lebih lanjut dalam
peraturan perundangan mengenai pelaksanaan pidana.
Tugas pelaksanaan
pidana sebagai akibat oleh putusan hakim ini berhubung adanya petugas-petugas
pelaksana lainnya di luar kejaksaan, maka perlu dibedakan antara tugas eksekusi
putusan hakim dan tugas pelaksanaan pidana
sebagai tindak lanjut dari eksekusi. Misalnya mengenai pelaksanaan
pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan yang dilaksanakan oleh petugas Lembaga Pemasyarakatan, petugas Bapas, dan pengawasan/pengamatan
yang dijalankan oleh seorang hakim yang ditunjuk dalam jangka waktu tertentu.
Seluruh sistem
peradilan, khususnya peradilan cepat, sederhana, dan biaya murah yang telah
diuraikan di atas berlaku pula dalam perkara pelanggaran lalu lintas. Peraturan tentang lalu lintas di Indonesia
terdiri dari berbagi perundang undangan, mulai dari undang undang, Peraturan
Pemerintah sampai dengan Peraturan Menteri Perhubungan.
Berlakunya Undang Undang Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, tidak lepas dari pentingnya sarana
transportasi sebagai penunjang, pendorong dan penggerak bagi roda perekonomian
suatu daerah, oleh karena itu lalu lintas dan jalan raya ditata dalam suatu
sistem transportasi nasional secara terpadu yang mampu mewujudkan tersedianya
transportasi yang serasi dengan tingkat kebutuhan lalu lintas dan pelayanan
angkutan yang tertib, selamat, aman, nyaman, cepat, teratur, lancar dan dengan
biaya yang terjangkau oleh kemampuan masyarakat.
[1] Bambang Poernomo, Pola Dasar
Teori dan Azas Umum Hukum Acara Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1988, hal. 53.
[2] Yahya Harahap, Pembaharuan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, 1985, hal. 99.
[3] Yahya Harahap, Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Jilid I dan II), Pustaka Kartini,
Jakarta, 1988, hal. 102.
[4] Harun Husein, Penyidikan dan
Penuntutan Proses Perkara Pidana, Melton Putra, Jakarta, 1991, hal. 54.
[5] Amin SM, Hukum Acara
Pengadilan Negeri, Djambatan, Jakarta, 1999, hal. 98.
[6] Bawengan, Penyidikan Perkara
Pidana dan Teknik Interogasi, Pradnya Pramita, Jakarta, 1989, hal.57.
[7] Djoko Prakoso, Eksistensi
Jaksa Ditengah-tengah Masyarakat, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hal. 32.
[8] Harun Husein, op.cit., hal. 268.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar