A.
Latar Belakang
Tindak
pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya
terus meningkat dari tahun ke tahun.
Dari ke 163
negara yang disurvey oleh International Transparency (IT),
Indonesia yang sudah merdeka 62 tahun dan sebagai salah satu Negara berkembang
di Asia menduduki posisi ke 133 dengan Corruption Perceptions
Index (CPI)
2,4. Pada tahun 2007, lembaga survey yang berbasis di Berlin, Jerman melaporkan
kembali bahwa angka CPI, negara Indonesia yang tahun lalu meraih CPI 2,4 justru
turun 0,1 sehingga menjadi 2,3 dan berada pada posisi ke 143. Pada tahun 2008, skor Indonesia mencapai 2,6 sedangkan pada tahun
2009 berdasarkan Transparency International Indonesia, skor Indonesia mencapai
2,8 atau naik dari tahun lalu sebesar 2,6. Dengan demikian posisi Indonesia
berada di bawah langsung Thailand yang mencapai skor 3,4 menempati posisi ke-4,
kemudian Malaysia dengan skor 4,5 berada di posisi ke-3, Brunei Darussalam
dengan skor 5,5 menempati posisi ke-2 dan posisi teratas dipegang oleh
Singapura dengan skor 9,2.[1]
Berdasarkan
laporan Transparency International tahun 2010, “Indonesia berada di posisi 110
dari 178 negara dengan indeks persepsi korupsi (IPK) di angka 2,8”.[2]
Meningkatnya
tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana, tidak saja
terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa
dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran
terhadap hak sosial dan hak ekonomi masyarakat. Tindak pidana korupsi telah
menjadi suatu kejahatan yang luar biasa. Begitu pula dalam upaya
pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut
dengan cara yang luar biasa. Selanjutnya terbukti bahwa ada keterkaitan antara
korupsi dan bentuk kejahatan lain, khususnya kejahatan terorganisasi
(terorisme, perdagangan orang, penyelundupan migran gelap dan lain-lain) dan
kejahatan ekonomi (tindak pidana pencucian uang). Sehingga tindak pidana
korupsi merupakan kejahatan yang sangat merugikan negara.
Tindak
pidana korupsi dalam jumlah besar berpotensi merugikan keuangan negara sehingga
dapat mengganggu sumber daya pembangunan dan membahayakan stabilitas politik
suatu negara. Saat ini korupsi sudah bersifat transnasional. Contohnya adalah
apa yang dinamakan foreign bribery, yaitu penyuapan oleh
perusahaan-perusahaan multinasional kepada pejabat-pejabat negara berkembang.
Korupsi juga dapat diindikasikan dapat menimbulkan bahaya terhadap keamanan
umat manusia, karena telah merambah ke dunia pendidikan, kesehatan, penyediaan
sandang pangan rakyat, keagamaan, dan fungsi-fungsi pelayanan sosial lain.
Dalam penyuapan di dunia perdagangan, baik yang bersifat domestik maupun
transnasional, korupsi jelas-jelas telah merusak mental pejabat. Demi mengejar
kekayaan, para pejabat negara tidak takut melanggar hukum negara. Kasus-kasus
tindak pidana korupsi sulit diungkap karena para pelakunya terkait dengan
wewenang atau kekuasaannya yang dimiliki. Biasanya dilakukan lebih dari satu
orang dan terorganisasi. Oleh karena itu, kejahatan ini sering disebut
kejahatan kerah putih.
Tindak
pidana korupsi tidak harus mengandung secara langsung unsur merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, misalnya suap-menyuap. Perbuatan tercela
adalah penyalahgunaan kekuasaan, perilaku diskriminatif dengan memberikan
keuntungan finansial, pelanggaran kepercayaan, rusaknya mental pejabat,
ketidakjujuran dalam berkompetisi dan lain-lain. Menyadari kompleksnya
permasalahan korupsi di tengah-tengah krisis multidimensional serta ancaman
nyata yang pasti terjadi, yaitu dampak dari kejahatan ini. Maka tindak pidana
korupsi dapat dikategorikan sebagai permasalahan nasional yang harus dihadapi
secara sungguh-sungguh melalui langkah-langkah yang tegas dan jelas dengan
melibatkan semua potensi yang ada dalam masyarakat khususnya pemerintah dan
aparat penegak hukum.
Pemberantasan
korupsi secara hukum adalah dengan mengandalkan diperlakukannya secara
konsisten Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan
berbagai ketentuan terkait yang bersifat repressif. Undang-Undang yang dimaksud
adalah Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Pada
orde lama korupsi masih terjadi meskipun sejak tahun 1957 telah ada aturan yang
cukup jelas yaitu Peraturan Penguasa Militer Nomor 06 Tahun 1957, yang kemudian
diganti dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960, kemudian diundangkanlah
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971. Pada orde reformasi penyempurnaan terhadap
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 melalui Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang
juga telah direvisi melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, tidak membawa
perubahan yang signifikan. Bila dicermati dari awal sampai akhir, tujuan khusus
yang hendak dicapai adalah bersifat umum, yaitu penegakan keadilan hukum secara
tegas bagi siapa saja yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
Penegakan
hukum pada dasarnya melibatkan seluruh warga negara Indonesia, dimana dalam
pelaksanaannya dilakukan oleh penegak hukum. Penegakan hukum tersebut dilakukan
oleh aparat yang berwenang. Aparat negara yang berwenang dalam pemeriksaan
perkara pidana adalah aparat Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Polisi,
Jaksa dan Hakim merupakan tiga unsur penegak hukum yang masing-masing mempunyai
tugas, wewenang dan kewajiban yang sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan
yang berlaku. Dalam menjalankan tugasnya unsur aparat penegak hukum tersebut
merupakan sub sistem dari sistem peradilan pidana. Di dalam rangka penegakan
hukum ini masing-masing sub sistem tersebut mempunyai peranan yang berbeda-beda
sesuai dengan bidangnya serta sesuai dengan ketentuan Perundang-Undangan yang
berlaku, akan tetapi secara bersama-sama mempunyai kesamaan dalam tujuan
pokoknya yaitu pemasyarakatan kembali para nara pidana.
Dalam
penanganan tindak pidana korupsi Jaksa berperan sebagai penyidik dan juga
sebagai penuntut umum. Maka peranannya dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi secara penal sangat dominan, artinya secara penal adalah pemberantasan
tindak pidana yang menggunakan sarana hukum pidana dalam penanganannya. Selain
penanganan tindak pidana secara penal dikenal juga penanganan non penal yaitu
digunakan sarana non hukum pidana, misalnya dengan hukum administrasi.
Keahlian
yang profesional harus dimiliki oleh aparat Kejaksaan, baik mengenai pemahaman
dan pengertian serta penguasaan Peraturan Perundang-Undangan dan juga terhadap
perkembangan teknologi. Hal ini agar pemberantasan tindak pidana korupsi dapat
berhasil. Penguasaan tersebut sangat penting sifatnya karena pelaku tindak
pidana korupsi itu mempunyai ciri-ciri tersendiri. Ciri pada pelaku tindak
pidana korupsi kebanyakan dilakukan oleh orang-orang yang berpendidikan tinggi
dan punya jabatan.
Sulitnya
pemberantasan tindak pidana korupsi adalah dalam hal melaporkannya. Diibaratkan
sebagai “lingkaran setan”, maksud dari lingkaran setan tersebut adalah dalam
hal terjadi tindak pidana korupsi dimana ada yang mengetahui telah terjadi
korupsi tetapi tidak melaporkan pihak yang berwajib, ada yang mengetahui tapi
tidak merasa tahu, ada yang mau melaporkan tapi dilarang, ada yang boleh tapi
tidak berani, ada yang berani tapi tidak punya kuasa, ada yang punya kuasa tapi
tidak mau, sebaliknya ada pula yang punya kuasa, punya keberanian tetapi tidak
mau untuk melapor pada yang berwajib.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian latar
belakang di muka, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1.
Bagaimana peranan kejaksaan
dalam pemberantasan tindak pidana korupsi
?
2.
Kendala apa yang
dihadapi kejaksaan dalam pemberantasan tindak
pidana korupsi ?
C.
Landasan
Teori
Korupsi
dalam bahasa Latin disebut Corruptio – corruptus, dalam bahasa Belanda
disebut corruptie, dalam Bahasa Inggris disebut corruption, dalam
bahasa Sansekerta didalam Naskah Kuno Negara Kertagama tersebut corrupt
arti harfiahnya menunjukkan kepada perbuatan yang rusak, busuk, bejat, tidak
jujur yang disangkutpautkan dengan keuangan.[3]
Korupsi
bisa didefinisikan dalam banyak cara, meskipun tiap cara untuk mendefenisikan
korupsi akan mempergunakan kekhususan penjelasan dalam masing-masing aspeknya,
sehingga jarang kita temui definisi yang cukup lengkap dan sempurna dalam
menjelaskan apa itu korupsi. Secara harfiah, korupsi merupakan sesuatu yang
busuk, jahat dan merusak.
Berdasarkan
pemahaman Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan Undang-Undang Nomor
31 tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi. Korupsi adalah perbuatan secara
melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri atau orang lain
(perseorangan atau korporasi) yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian
negara, sehingga unsur-unsur yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan dapat
dianggap sebagai korupsi adalah :
1.
Secara melawan hukum
2.
Memperkaya diri sendiri atau orang lain
3.
Dapat merugikan keuangan atau
perekonomian Negara.
Secara
melawan hukum artinya meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan (melawan hukum formil). Namun apabila perbuatan tersebut
dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma
kehidupan sosial dalam masyarakat (melawan hukum materil), maka perbuatan
tersebut dapat dipidana.[4]
Dalam Kamus umum Bahasa Indonesia,
korupsi adalah “perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang
sogok dan sebagainya”.[5]
Menurut Transparancy International, korupsi adalah ”perilaku pejabat publik,
baik politis maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal
memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya dengan
menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepadanya”.[6]
Korupsi
menurut Henry Campbell Black dalam Black’s Law Dictionary adalah suatu
perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang
tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak-pihak lain, secara
salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu
keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain, bersamaan dengan
kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.[7]
Dalam pengertian lain, korupsi dapat
diartikan sebagai “perilaku tidak mematuhi prinsip, dilakukan oleh perorangan
di sektor swasta atau pejabat publik. Dan keputusan dibuat berdasarkan hubungan
pribadi atau keluarga, korupsi akan timbul, termasuk juga konflik kepentingan
dan nepotisme”.[8]
Definisi
korupsi banyak sekali, dalam arti luas, korupsi berarti menggunakan jabatan
untuk keuntungan pribadi. Jabatan adalah kedudukan kepercayaan. Seseorang
diberi wewenang atau kekuasaan untuk bertindak atas nama lembaga. Lembaga itu
bisa lembaga swasta, lembaga pemerintah, atau lembaga nirlaba. Korupsi berarti
memungut uang bagi layanan yang sudah seharusnya diberikan, atau menggunakan
wewenang untuk mencapai tujuan yang tidak sah. Korupsi adalah tidak
melaksanakan tugas karena lalai atau sengaja.[9]
Korupsi juga bisa dinyatakan sebagai
suatu pemberian, dalam prakteknya korupsi lebih dikenal sebagai menerima uang
yang ada hubungan dengan jabatan tanpa ada catatan administrasinya. Secara
hukum pengertian korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindakpidana
korupsi. Untuk tulisan ini pengertian korupsi lebih ditekankan pada perbuatan
yang merugikan kepentingan publik atau masyarakat luas untuk kepentingan
pribadi atau golongan.
Untuk
memahami makna dari korupsi terlebih dahulu memahami pencurian dan penggelapan
terlebih dahulu. Pencurian berdasarkan Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana adalah perbuatan secara melawan hukum mengambil barang sebagian atau
seluruhnya milik orang lain dengan maksud memiliki. Barang atau hak yang
berhasil dimiliki bisa diartikan sebagai keuntungan pelaku. Dalam penggelapan
berdasarkan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah pencurian barang
atau hak yang dipercayakan atau berada dalam kekuasaan si pelaku. Ada
penyalahgunaan kewenangan atau kepercayaan oleh si pelaku.[10]
Jika
membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu karena
korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan membusuk, jabatan dalam
instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena
pemberian, faktor ekonomi dan politik serta penempatan keluarga atau golongan
ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatan. Artinya seseorang diberi
wewenang atau kekuasaan untuk bertindak atas nama lembaga. Korupsi juga bisa
berarti memungut uang bagi layanan yang sudah seharusnya diberikan atau
menggunakan wewenang untuk mencapau tujuan yang tidak sah.
Dengan
demikian korupsi dapat kita pahami sebagai tindak pidana yang mengakibatkan
kerugian negara, atau yang mempunyai ciri-ciri :
1.
Merahasiakan motif dan ada keuntungan
yang ingin diraih.
2.
Berhubungan dengan kekuasaan atau
kewenangan tertentu.
3.
Berlindung di balik pembenaran hukum.
4.
Melanggar kaidah kejujuran dan norma
hukum.
5.
Mengkhianati
kepercayaan. [11]
Adanya
kata-kata kerugian negara, baik dalam arti sempit merugikan keuangan negara
pada umumnya termasuk kerugian pada badan-badan usaha milik negara atau
proyek-proyek yang dibiayai dari anggaran negara, juga kerugian terhadap
pereknomian negara secara umum. Artinya akibat perbuatan itu mengganggu
perekonomian negara atau membuat kondisi perekonomian negara tidak stabil atau
mengganggu kebijakan perekonomian negara. Kesemuanya dianggap telah merugikan Negara.
Selain ciri-ciri
tindak pidana korupsi sebagaimana di atas, juga terdapat penyebabnya yaitu :
1.
Penegakan hukum tidak konsisten atau
penegakan hukum hanya sebagai hiasan politik, sifatnya sementara dan selalu
berubah setiap berganti pemerintahan.
2.
Penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang
3.
Langkanya lingkungan yang antikorup,
sistem dan pedoman antikorupsi hanya dilakukan sebatas formalitas
4.
Rendahnya pendapatan penyelenggaraan
negara. Pendapatan yang diperoleh harus mampu memenuhi kebutuhan penyelenggara
negara, mampu mendorong penyelenggara negara untuk berprestasi dan memberikan
pelayanan terbaik bagi masyarakat.
5.
Kemiskinan dan keserakahan. Masyarakat
kurang mampu melakukan korupsi karena kesulitan ekonomi. Sedangkan mereka yang
berkecukupan melakukan korupsi karena serakah, tidak pernah puas dan
menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan.
6.
Budaya memberi upeti, imbalan jasa dan
hadiah.
7.
Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah
daripada keuntungan korupsi. Saat tertangkap bisa menyuap penegak hukum
sehingga dibebaskan atau setidaknya diringankan hukumannya.
8.
Budaya permisif atau serba membolehkan.
Menganggap biasa bila ada korupsi, karena sering terjadi. Tidak peduli orang
lain, asal kepentinganya sendiri terlindungi.
9.
Gagalnya pendidikan agama dan etika.
Bahwa agama telah gagal menjadi pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi
karena perilaku masyarakat yang memeluk agama itu sendiri. Pemeluk agama
menganggap agama hanya pada masalah bagaimana sara beribadah saja. Sehingga
agama nyaris tidak berfungsi dalam memainkan peran sosial.[12]
Praktek korupsi seakan menjadi penyakit
menular yang tidak ditakuti, adakalanya disebabkan karena pemenuhan kebutuhan
seperti yang dilakukan oleh pegawai rendahan, tapi ada juga yang karena
pengaruh budaya materialistis menumpuk kekayaan seperti koruptor-koruptor dari
kalangan pejabat tinggi yang kehidupannya sudah lebih dari "mewah".
Karena adanya pemerataan korupsi maka tidak salah kalau orang mengatakan bahwa
korupsi sudah menjadi bagian dari budaya bangsa Indonesia.
Menurut
Andi Hamzah, ada beberapa penyebab korupsi yaitu :
1.
Kurangnya gaji pegawai negeri
dibandingkan dengan kebutuhan yang makin meningkat;
2.
Latar belakang kebudayaan atau kultur
Indonesia yang merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi;
3.
Manajemen yang kurang baik dan kontrol
yang kurang efektif dan efisien, yang memberikan peluang orang untuk korupsi;
4.
Modernisasi pengembangbiakan korupsi.[13]
Sebenarnya, alas an kurangnya gaji,
buruknya ekonomi serta tidak teraturnya system administrasi dan manajemen tidak
lagi merupakan penyebab utama timbulnya korupsi. Hal ini dapat dilihat di
negara-negara maju pun, manakala gaji pejabat sudah tinggi, ekonomi sudah
berkembang serta tumbuh dengan pesatnya, administrasi dan manajemen sudah
teratur dan modern, masih terjadi banyak korupsi.
Menurut
Patrick Glynn, Stephen J. Korbin dan Moises Naim yang menyebabkan meningkatnya
aktivitas korupsi, baik yang sesungguhnya maupun yang dirasakan ada di beberapa
negara, karena terjadinya perubahan politik yang sistematik, sehingga memperlemah
atau menghancurkan tidak saja lembaga sosial dan politik, tetapi juga hukum.[14]
Di samping statemen korupsi di Indonesia
telah membudaya, seperti diuraikan di atas, adapula yang mengatakan bahwa
korupsi di Indonesia sudah menjadi suatu sistem yang menyatu dengan
penyelenggaraan pemerintahan negara dan bahkan dikatakan bahwa pemerintahan
justru akan hancur apabila korupsi diberantas. Hal ini disebutkan karena daya
tahan struktur pemerintahan sangat bergantung pada kelancaran penyaluran dana
kepada unsur-unsur pemerintahan yang di dalamnya banyak mengandung unsur-unsur
korupsi, sehingga apabila dilakukan pemberantasan korupsi akan merusak arus
penyaluran dana itu. Karenanya, struktur pemerintahan yang dibangun dengan
latar belakang korupsi akan menjadi struktur yang korup dan akan hancur
manakala korupsi tersebut dihilangkan.
Korupsi
akan senantiasa timbul jika dalam budaya pada masyarakat tidak ada nilai unsur
yang memisahkan secara tajam antara milik negara dengan milik pribadi. Biasanya
yang melakukan pengaburan antara milik pribadi ini adalah penguasa. Pada masa
feodal di Eropa dan Asia, termasuk negeri kita, tanah-tanah luas adalah milik
raja dan raja menyerahkan pada para pangeran kaum bangsawan. Para pengeran
ditugaskan memungut pajak, sewa, upeti dari rakyat yang menduduki dan
mengerjakan tanah. Sebagian hasilnya harus diserahkan oleh para pangeran dan
selebihnya untuk pembesar sang raja. Di samping membayar dalam bentuk uang
sering pula rakyat diharuskan membayar dengan tenaga, bekerja untuk memenuhi
berbagai keperluan sang pembesar. Korupsi yang kini merajalela di Indonesia
berakar pada masa tersebut ketika kekuasaan bertumpu pada kekuasaan yang
berkembang dalam kerangka kekuasaan feodal. Dalam struktur ini penyimpangan
seperti korupsi, pencurian, tentu saja dengan mudah berkembang. [15]
Masalah penegakan hukum terutama
menyangkut korupsi di Negara Republik Indonesia sudah dicanangkan
pemberantasannya sejak tahun 1950 an. Fakta yang tidak terbantahkan bahwa upaya
pemberantasan korupsi di Indonesia bukanlah hal yang baru. Banyak Team atau
Lembaga dibentuk untuk memberantas korupsi. Banyak peraturan dilahirkan untuk
memberantas korupsi, tetapi Indonesia tetap tercatat sebagai salah satu Negara
yang sangat korup di dunia, sehingga tidak salah kalau Almarhum Bung Hatta ditahun
1970 menyatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah membudaya.
Di
Indonesia langkah-langkah pembentukan hukum positif guna menghadapi masalah
korupsi telah dilakukan selama beberapa masa perjalanan sejarah dan melalui
beberapa masa perubahan peraturan Perundang-Undangan. Istilah korupsi secara
yuridis baru digunakan pada tahun 1957, yaitu dengan adanya Peraturan Penguasa
militer yang berlaku di daerah kekuasaan Angkatan Darat (Peraturan Militer
Nomor PRT/PM/06/1957). Beberapa peraturan yang mengatur mengenai tindak pidana
korupsi di Indonesia sebagai berikut :
1.
Masa Peraturan Penguasa Militer, yang
terdiri atas :
a.
Peraturan Penguasa Militer Nomor
PRT/PM/06/1957 dikeluarkan oleh Penguasa Militer Angkatan Darat dan berlaku
untuk daerah kekuasaan Angkatan Darat.
b.
Peraturan Penguasa Militer Nomor
PRT/PM/08/1957 berisi tentang pembentukan badan yang berwenang mewakili negara
untuk menggugat secara perdata orang-orang yang dituduh melakukan berbagai
bentuk perbuatan korupsi yang bersifat keperdataan lewat Pengadilan Tinggi.
c.
Peraturan Penguasa Militer Nomor
PRT/PM/011/1957 merupakan peraturan yang menjadi dasar hukum dari kewenangan
yang dimiliki oleh Pemilik Harta Benda (PHB) untuk melakukan penyitaan harta
benda yang dianggap hasil perbuatan korupsi lainnya, sambil menunggu putusan
dari Pengadilan Tinggi.
d.
Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala
Staf Angkatan Darat Nomor PRT/Z.I/i/7/1958 tanggal 17 April 1958.
2.
Tindak Pidana Korupsi Masa Undang-Undang
Nomor 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan.
Undang-Undang ini merupakan perubahan dari Peraturan Pemerintah pengganti
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 yang tertera dalam Undang-Undang nomor 1
Tahun 1961
3.
Masa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971
Tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
4.
Masa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemudian diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.[16]
Dalam KUHP,
terdapat ketentuan-ketentuan yang mengancam dengan pidana orang yang melakukan
delik jabatan, pada khususnya delik-delik yang dilakukan oleh pejabat yang
terkait dengan korupsi. Ketentuan-ketentuan tindak pidana korupsi yang terdapat
dalam KUHP dirasa kurang efektif dalam mengantisipasi atau mengatasi tindak
pidana korupsi. Oleh sebab itu, dibentuklah suatu Peraturan Perundang-Undangan
guna memberantas masalah korupsi, dengan harapan dapat mengisi serta
menyempurnakan kekurangan yang terdapat pada KUHP. Dengan berlakunya
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka ketentuan pasal 209
KUHP, Pasal 210 KUHP, Pasal 387 KUHP, Pasal 388 KUHP, Pasal 415 KUHP, Pasal 416
KUHP, Pasal 417 KUHP, Pasal 418 KUHP, Pasal 419 KUHP, Pasal 420 KUHP Pasal 423
KUHP, Pasal 425 KUHP, Pasal 435 KUHP dinyatakan tidak berlaku.[17]
Penegakan
hukum pada dasarnya melibatkan seluruh warga negara Indonesia, dimana dalam
pelaksanaannya dilakukan oleh penegak hukum. Penegakan hukum tersebut dilakukan
oleh aparat yang berwenang. Aparat negara yang berwenang dalam pemeriksaan
perkara pidana adalah aparat Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Polisi,
Jaksa dan Hakim merupakan tiga unsur penegak hukum yang masing-masing mempunyai
tugas, wewenang dan kewajiban yang sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan
yang berlaku.
Dalam
menjalankan tugasnya unsur aparat penegak hukum tersebut merupakan sub sistem
dari sistem peradilan pidana. Dalam rangka penegakan hukum ini, masing-masing
sub sistem tersebut mempunyai peranan yang berbeda-beda sesuai dengan bidangnya
serta sesuai dengan ketentuan Perundang-Undangan, akan tetapi secara
bersama-sama mempunyai kesamaan dalam tujuan pokoknya yaitu menanggulangi
kejahatan dan pemasyarakatan kembali para nara pidana. Bekerjanya masing-masing
sub sistem tersebut harus sesuai dengan ketentuan Perundang-Undangan yang
mengaturnya. Salah satu sub sistem penegak hukum dari peradilan pidana adalah
Lembaga Kejaksaan. Hukum dan penegakan hukum merupakan sebagian faktor
penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan
menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan. Oleh karena itu,
keberadaan Lembaga Kejaksaan salah satu unsur sistem peradilan pidana mempunyai
kedudukan yang penting dan peranannya yang strategis di dalam suatu negara
hukum karena Lembaga Kejaksaan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses
pemeriksaan di persidangan, sehingga keberadaannya dalam kehidupan masyarakat
harus mampu mengemban tugas penegakan hukum.[18]
Pada
Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia ditentukan bahwa Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang
oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penyelidik, penuntut umum dan
pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum serta
wewenang lain berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004. Kejaksaan Republik
Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di
bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun.
Dalam penuntutan
dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan
pengaruh kekuasaan lainnya. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum
dituntut lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan
umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi.[19]
Kejaksaan
adalah satu-satunya lembaga negara yang merupakan aparat pemerintah yang
berwenang melimpahkan perkara pidana, menuntut pelaku tindak pidana di
pengadilan dan melaksanakan penetapan dan putusan hakim pidana, kekuasaan ini
merupakan ciri khas dari kejaksaan yang membedakan lembaga-lembaga atau
badan-badan penegak hukum lain.
Selain
itu dalam tindak pidana umum Jaksa hanya sebagai penuntut umum, tetapi dalam
tindak pidana khusus dalam hal ini korupsi Jaksa berperan sebagai penyidik dan
penuntut umum. Sebagai penyidik maka diperlukan suatu keahlian dan keterampilan
yang khusus untuk mencari dan mengumpulkan bukti sehingga dapat diketemukan
tersangkanya. Pada dasarnya penyelidikan dan penyidikan setiap tindak pidana
merupakan awal dalam penanganan setiap tindak pidana terutama tindak pidana
korupsi.
Sebagai penyidik
dalam tindak pidana korupsi maka kejaksaan berwenang untuk mengadakan
penyelidikan dan penyidikan. Setelah penyidikan dirasa oleh penyidik sudah
selesai maka berkas perkaranya diserahkan kepada kejaksaan selaku penuntut
umum. Jaksa yang ditunjuk sebagai penuntut umum setelah menerima berkas perkara
segera memeriksa, apabila berkas oleh penuntut umum dianggap kurang lengkap
maka dalam waktu tujuh hari atau sebelumnya, penuntut umum harus sudah
mengembalikan berkas pada penyidik disertai dengan petunjuk untuk kelengkapan
berkas tersebut. Apabila dalam waktu tujuh hari setelah menerima berkas perkara
dari penyidik penuntut umum tidak mengembalikan berkas, maka berkas tersebut
sudah lengkap. Dengan dikembalikannya berkas perkara oleh penuntut umum pada
penyidik disertai dengan petunjuk untuk kelengkapan berkas maka penyidik harus
mengadakan penyidikan lanjutan guna melengkapi berkas selambat-lambatnya dalam
waktu empat belas hari selesai dan dikirim lagi pada penuntut umum.[20]
Berdasarkan
Pasal 110 ayat (1) KUHAP, menyebutkan bahwa yang “dalam hal penyidik telah selesai
melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu
kepada penuntut umum”. Hal ini untuk memenuhi asas peradilan cepat,
sederhana dan biaya ringan.
Bila penuntut
umum berpendapat bahwa hasil penyidikan dari penyidik sudah lengkap maka
penyidik selanjutnya menyerahkan tanggung jawab atas barang bukti dan
tersangkanya. Penuntut umum selanjutnya memeriksa hasil penyidikan dari
penyidik apakah dapat dilakukan penuntutan atau tidak, bila dapat maka ia dalam
waktu secepatnya membuat surat dakwaan. Surat dakwaan ini sangat penting dalam
pemeriksaan perkara pidana. Sebab surat dakwaan merupakan dasar dan menentukan
batas-batas bagi pemeriksaan terdakwa dalam.[21]
[1] http://www.kompas.com/kompas-cetak/27/09/07/,
diakses pada tanggal 11 Juli 2011
[2] http://www.bisnis.com/umum/sosial/20802-jamwas-koruptor-harus-dihukum-mati,
diakses tanggal 11 Juli 2011
[3] Sudarto, Hukum dan
Hukum Pidana, Alumni, Bandung, Cetakan Keempat, 1996, hal 115.
[4] Arya Maheka, Mengenali dan Memberantas Korupsi,
Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, Jakarta, 2006, hal. 14.
[5] W.J.S. Poerwadaminta,
Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hal. 1230.
[6] Emmy Hafild, Transparancy
International Annual Report, Transparancy International, Jakarta 2004, hal.
4.
[7] Black, Henry
Campbell, Black’s Law Dictionary, Edisi VI, West Publishing , St. Paul
Minesota, 1990
[8] Vito Tanzi, Corruption,
Governmental Activities, and Markets, IMF Working Paper, Agustus 1994.
[9] Robert Kligaard, Penuntun
Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah, Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta, 2005, hal. 3.
[10] Arya Maheka, Op. Cit., hal. 15.
[11] Ibid., hal. 23.
[12] http://www. indopos.co.id, 27 Sept 2006, diakses tanggal 27 Juni
2011.
[13] Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia, Masalah dan
Pemecahannya, Gramedia, Jakarta, 1991, hal. 36.
[14] Kimberly Ann Elliot, Corruption
and The Global Economy, terjemahan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, Edisi
Pertama, 1999, hlm. 11.
[15] Mochtar Lubis, Bunga Rampai Korupsi, LP3ES, Jakarta,
1995, hal. 17.
[16] Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar
Grafika, Jakarta, 2005, hal. 22-23.
[17] Ibid.
[18] Marwan Effendy, Kejaksaan Republik Indonesia, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2005, hal. 2.
[19] Evi Hartanti, Op. Cit., hal. 23.
[20]
Suryono Sutarto, Hukum Acara Pidana
Jilid I, Universitas Diponegoro, Semarang, 2004, hal. 76.
[21] Ibid., hal. 86.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar