A.
Latar
Belakang
Anak merupakan aset
bangsa yang sangat penting. Perlakuan yang tidak tepat terhadap anak akan
sangat mempengaruhi masa depan anak, sedangkan kualitas anak-anak akan
menentukan masa depan suatu bangsa. Oleh karena itu sangatlah disadari bahwa
keberadaan anak dalam kehidupan berbangsa menempati posisi yang sangat penting,
sehingga dapat dibayangkan jika situasi dan kondisi disekitar anak tidak
mendukung perkembangannya secara baik maka negara dan bangsa akan mengalami
kerugian yang sangat besar.
Dalam pertumbuhan anak
seringkali dihadapkan pada situasi dimana anak harus berhadapan dengan hukum,
karena tindakannya yang telah melanggar ketentuan perundang-undangan yang
berlaku. Anak-anak yang melakukan pelanggaran aturan atau kepatutan dalam
masyarakat inilah yang sering dikatakan sebagai anak nakal. Namun yang terjadi
akhir-akhir ini kenakalan anak semakin menjurus kepada tindakan kejahatan,
bahkan cenderung semakin meningkat kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak di
bawah umur.
Menghadapi perkara
anak yang terlibat persoalan hukum, tentu penyelesaian dan perlakuannya harus
berbeda dengan prosedur orang dewasa. Dalam prosesnyapun harus dilakukan secara
cermat, agar anak tetap mendapatkan perlindungan secara maksimal.
Pada
akhir abad ke-19, kriminalisasi yang dilakukan oleh anak dan remaja semakin
meningkat, sehingga dalam menghadapi fenomena tersebut diperlukan penanganan
terhadap pelaku kriminal anak disamakan dengan pelaku kriminal orang dewasa.
Hal ini merupakan suatu konsekuensi dari hukum yang ada pada saat itu belum
memiliki aturan khusus yang mengatur tentang anak yang berhadapan dengan hukum
atau anak pelaku tindak pidana.
Dalam
perkembangan selanjutnya, di berbagai negara dilakukan usaha-usaha ke arah
perlindungan anak termasuk dengan dibentuknya pengadilan anak (Juvenile
Court). Pada tahun 1997, pemerintah Indonesia menetapkan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak (Undang-Undang Pengadilan Anak). Salah satu pertimbangan utama
diundangkannya Undang-Undang
Pengadilan Anak antara lain adalah kehendak Pemerintah untuk mewujudkan
suatu penanganan perkara anak yang terlibat tindak pidana secara lebih baik
daripada terdahulu dan penanganannya memperhatikan kepentingan anak, sebagaimana
tersebut dalam konsideran Undang-Undang Pengadilan
Anak pada point (a) yang menyebutkan bahwa : Anak adalah
bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan
potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan
strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan
perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik mental,
dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang.
Lima tahun setelah diundangkannya Undang-Undang Pengadilan Anak, pemerintah
Indonesia menetapkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Berbagai ketentuan
yang telah diundangkan di Indonesia tersebut merupakan bukti perhatian negara
Indonesia terhadap anak tanpa terkecuali terhadap anak nakal atau anak pelaku
tindak pidana.
Anak yang berkonflik dengan hukum merupakan anak
yang dikategorikan kedalam anak yang memerlukan perlindungan khusus karena
dalam melakukan tindakan, seorang anak lebih banyak dipengaruhi oleh naluri
atau perasaan daripada pikiran-pikiran atau logika, oleh karena itu dasar
perlakuan terhadap perkara anak harus berbeda dengan perkara orang dewasa, demi
kejiwaan anak tersebut.[1]
Dalam perkara pidana yang dilakukan oleh anak-anak,
pada umumnya ketentuan yang dilanggar adalah peraturan pidana yang terdapat
dalam KUHP, maka penyidikannya dilakukan oleh penyidik umum dalam hal ini
penyidik Polri. Sejalan dengan diberlakukannya undang-undang pengadilan anak,
telah dipertegas bahwa penyidikan terhadap perkara anak nakal dilakukan oleh
penyidik Polri dengan dasar hukum Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Pengadilan
Anak yang pada intinya menyebutkan bahwa penyidikan terhadap anak nakal
dilakukan oleh penyidik yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala
Kepolisian Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kapolri.
Meskipun penyidiknya penyidik Polri, akan tetapi tidak semua penyidik Polri
dapat melakukan penyidikan terhadap perkara anak nakal.
Salah satu bentuk perlindungan
khusus terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana yaitu dengan membentuk Unit
Pelayanan Perempuan dan Anak, yang dibentuk berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 10
Tahun 2007 Tentang
Organisasi dan Struktur Kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak di lingkungan
Polri.
Unit Pelayanan Perempuan dan Anak yang selanjutnya
disingkat UPPA adalah unit yang bertugas memberikan pelayanan dalam bentuk
perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan dan
penegakan hukum terhadap perempuan dan anak yang menjadi pelaku tindak pidana.
Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2007 tersebut telah
memberikan pedoman tentang administrasi dan tata kerja Unit Pelayanan Perempuan
dan Anak di lingkungan Kepolisian dan menetapkan Pengadaan Ruang Pelayanan
Khusus. Ruang Pelayanan Khusus yang selanjutnya disingkat (RPK) dibentuk
berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus Dan Tata
Cara Pemeriksaan Saksi Dan/Atau Korban Tindak Pidana.
Ruang Pelayanan Khusus (RPK) adalah ruangan yang aman
dan nyaman diperuntukkan khusus bagi saksi dan/atau korban tindak pidana
termasuk tersangka tindak pidana yang terdiri dari perempuan dan anak yang
patut diperlakukan atau membutuhkan perlakuan secara khusus, dan perkaranya
sedang ditangani di kantor polisi.
Berdasarkan
tujuan pembentukkannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan
Kapolri Nomor 3 Tahun 2008 maka tujuan pembentukkan RPK untuk memberikan
pelayanan dan perlindungan khusus kepada perempuan dan anak yang menjadi saksi,
korban dan / atau tersangka yang ditangani di RPK.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di muka, maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1.
Bagaimana
peranan Unit
Pelayanan Perempuan Dan Anak (PPA) dalam menangani anak sebagai Pelaku
Tindak Pidana di Wilayah Hukum Polda DIY?
2.
Kendala apa yang dihadapi Unit
Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) dalam menangani anak sebagai Pelaku Tindak Pidana di
Wilayah Hukum Polda DIY?
C.
Landasan
Teori
Anak sebagai bagian dari generasi muda adalah merupakan
penerus cita-cita perjuangan bangsa dan juga merupakan sumber daya manusia
(SDM) yang sangat potensial bagi pembangunan nasional. Oleh karena itu dalam
rangka tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu memimpin
serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,
diperlukan pembinaan dan pembimbingan secara terus menerus demi kelangsungan
hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial serta
perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahayakan anak/generasi muda
dan bangsa di masa mendatang.
Menurut Imam Al Ghazali ”anak merupakan Amanah bagi orang
tua yang masih suci laksana permata, baik buruknya anak tergantung pada
pembinaan yang diberikan oleh orang tua kepada mereka”.[2] Sehingga setiap orang tua
wajib menjaga dan melindungi, memberikan kesejahteraan, memberikan pendidikan
dan keterampilan, serta membekali dengan pendidikan agama dan moral. Karena
dalam diri setiap anak melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia
yang harus dijunjung tinggi.
”Pengertian anak-anak / remaja berdasarkan pendapat
masyarakat secara umum adalah mereka yang masih berusia antara 13 ( tiga belas
) sampai dengan 15 (lima belas) tahun dan belum kawin, umumnya masih tinggal
bersama orang tua”.[3]
Anak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 KUHP adalah orang yang belum dewasa, yang
belum mencapai usia 16 (enam belas) tahun. Oleh karena itu, apabila ia
tersangkut perkara pidana hakim boleh memerintahkan supaya si bersalah itu
dikembalikan kepada orang tua, wali atau pemeliharanya dengan tidak dikenakan
pidana, atau memerintahkannya supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tidak
dikenai sanksi pidana.
Pengertian
anak dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, diatur
dan dijelaskan dalam Pasal 1 angka (1). Adapun bunyi pasal tersebut adalah
sebagai berikut :
Pasal 1
angka (1) :
Anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak
yang masih dalam kandungan.
Batas usia anak memberikan pengelompokan terhadap
seseorang untuk dapat disebut sebagai seorang anak. Yang dimaksud dengan batas
usia anak adalah pengelompokan usia maksimal sebagai wujud kemampuan anak dalam
status hukum sehingga anak tersebut beralih status menjadi usia dewasa atau
menjadi seorang subyek hukum yang dapat bertanggungjawab secara mandiri
terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan hukum yang dilakukan anak
itu.
Batas usia anak dalam pengertian hukum pidana dirumuskan
secara jelas dalam ketentuan hukum yang terdapat dalam Pasal 1 angka (1)
Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Adapun bunyi pasal
tersebut adalah sebagai berikut :
Pasal 1
angka (1) :
Anak dalam
perkara anak nakal adalah orang yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun
tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
Belum pernah kawin, maksudnya tidak terikat dalam
perkawinan atau pernah kawin dan kemudian cerai. Apabila si anak terikat dalam
suatu perkawinan atau perkawinannya putus karena perceraian maka si anak
dianggap sudah dewasa, walaupun umurnya belum 18 (delapan belas) tahun.
Anak
dalam pemaknaan yang umum mendapat perhatian tidak saja dalam bidang ilmu
pengetahuan, tetapi dapat ditelaah dari sisi pandang sentralistis kehidupan
agama, hukum dan sosiologi yang menjadikan pengertian anak semakin rasional dan
aktual dalam lingkungan sosial, sebab anak merupakan suatu anugrah dari Tuhan
yang berharga dan tidak dapat dinilai dengan nominal.[4]
“Dari
segi lain seperti agama maupun segi adat pada umumnya yang disebutkan sudah
dewasa adalah mereka yang jika wanita sudah pernah haid dan jika laki-laki
sudah pernah mengeluarkan sperma dalam keadaan tidak sadar”.[5]
Sedemikian
banyaknya pendapat-pendapat yang saling berbeda-beda satu sama lain adalah
suatu bukti bahwa betapa pentingnya untuk memahami pengertian tentang anak di
bawah umur. Hal ini sangat berkaitan erat nantinya dengan proses peradilan atau
penanggulangan tindak pidana yang dilakukan oleh anak.
Dari
uraian pengertian anak berdasarkan KUHP, Undang-Undang Perlindungan Anak, dan
Undang-Undang Pengadilan Anak, jelas menunjukan bahwa terdapat perbedaan dalam
menentukan pengelompokan terhadap seseorang untuk dapat disebut sebagai seorang
anak. KUHP menentukan bahwa anak adalah yang belum mencapai usia 16 (enam
belas) tahun sedangkan UU Perlindungan Anak menentukan bahwa anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan. Kedua aturan tersebut hanya menentukan batas usia maksimal,
artinya bahwa anak adalah 0 tahun sampai dengan 18 tahun. Berbeda dengan UU
Pengadilan Anak yang menentukan bahwa anak dalam perkara anak nakal adalah
orang yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18
(delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
Tindak
pidana atau tindak pidana anak-anak mengandung pengertian perbuatan-perbuatan
yang merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak, yang melanggar
nilai-nilai atau norma-norma yang dapat merugikan orang lain atau masyarakat,
biasa disebut dengan “ Juvenile Delinquency “ mengenai terminology ini,
banyak sarjana yang memberikan pendapat atau tanggapan menurut versinya
masing-masing.[6]
Menurut Romli
Atmasasmita bahwa “ tindak pidana anak-anak adalah tindakan yang dilakukan
anak-anak yang dianggap bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku di
suatu negara, yang oleh masyarakat dirasakan serta ditafsirkan sebagai
perbuatan yang tercela.”[7]
Penyimpangan tingkah laku atau
perbuatan melanggar hukum yang di lakukan oleh anak menurut penjelasan umum
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor-faktor
tersebut diantaranya :
a.
Adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan;
b.
Arus globalisasi dibidang komunikasi dan informasi;
c. Kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tindak pidana anak
menurut Sri Widoyanti adalah sebagai berikut :
a. Keluarga yang Broken
Homes;
b. Keadaan ekonomi;
c. Sikap
masyarakat terhadap anggota masyarakat;
d. Kepadatan penduduk;
e. Lingkungan pendidikan;
f. Pengaruh
Film, Televisi dan hiburan lain;
g. Perasaan
disingkirkan oleh teman-teman;
h. Sifat
anak itu sendiri.[8]
Untuk menjamin Perlindungan terhadap anak-anak yang
berhadapan dengan hukum ditetapkan sebagai kelompok anak yang membutuhkan
Perlindungan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 UU No. 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak. Adapun bunyi pasal tersebut adalah sebagai berikut :
Pasal
59 :
Pemerintah
dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan
perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan
dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi
secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi
korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya
(napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan
baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban
perlakuan salah dan penelantaran.
Perlindungan khusus bagi anak yang melakukan tindak
pidana atau anak yang berhadapan dengan hukum, diatur dan dijelaskan dalam
Pasal 64. Adapun bunyi pasal tersebut adalah sebagai berikut :
Pasal
64 :
(1)
Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan
hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan
hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab
pemerintah dan masyarakat.
(2)
Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan
hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui :
a.
Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan
martabat dan hak-hak anak;
b.
Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini;
c.
Penyediaan sarana dan prasarana khusus;
d.
Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang
terbaik bagi anak;
e.
Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap
perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum;
f.
Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan
orang tua atau keluarga; dan
g.
Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media
massa dan untuk menghindari labelisasi.
Berdasarkan UU Perlindungan Anak, Pemerintah dan lembaga
negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan
khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Lebih lanjut disebutkan bahwa
perlindungan khusus dilaksanakan melalui perlakuan atas anak secara manusiawi
sesuai dengan martabat dan hak-hak anak, penyediaan petugas pendamping khusus
anak sejak dini, penyediaan sarana dan prasarana khusus, penjatuhan sanksi yang
tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak, pemantauan dan pencatatan terus
menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum, pemberian
jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga dan perlindungan
dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.
Berdasarkan
Pasal 1 butir (9) Peraturan Kapolri Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus Dan Tata
Cara Pemeriksaan Saksi Dan/Atau Korban Tindak Pidana, menyebutkan bahwa Unit
Pelayanan Perempuan dan Anak yang selanjutnya disingkat UPPA adalah unit yang
bertugas memberikan pelayanan dalam bentuk perlindungan terhadap perempuan dan
anak yang menjadi korban kejahatan dan penegakan hukum terhadap perempuan dan
anak yang menjadi pelaku tindak pidana.
Tugas Unit
Pelayanan Perempuan dan Anak diatur dan dijelaskan dalam Pasal 10 ayat (2) Peraturan
Kapolri Nomor 3 Tahun 2008 yang menyebutkan bahwa Tugas Unit Pelayanan
Perempuan dan Anak meliputi :
a.
Penerimaan
laporan/pengaduan tentang tindak pidana;
b.
Membuat laporan polisi;
c.
Memberi konseling;
d.
Mengirimkan korban ke PPT
atau RS terdekat;
e.
Pelaksanaan penyidikan
perkara;
f.
Meminta visum;
g.
Memberi penjelasan
kepada pelapor tentang posisi kasus, hak-hak, dan kewajibannya;
h.
Menjamin kerahasiaan
informasi yang diperoleh;
i.
Menjamin keamanan dan
keselamatan korban;
j.
Menyalurkan korban ke
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) / rumah aman;
k.
Mengadakan koordinasi
dan kerja sama dengan lintas sektoral;
l.
Memberi tahu
perkembangan penanganan kasus kepada pelapor;
m.
Membuat laporan
kegiatan sesuai prosedur.
Berdasarkan
Pasal 1 butir (2) Peraturan Kapolri Nomor 3 Tahun 2008 menyebutkan bahwa Ruang
Pelayanan Khusus (RPK) adalah ruangan yang aman dan nyaman diperuntukkan khusus
bagi saksi dan/atau korban tindak pidana termasuk tersangka tindak pidana yang
terdiri dari perempuan dan anak yang patut diperlakukan atau membutuhkan
perlakuan secara khusus, dan perkaranya sedang ditangani di kantor polisi.
Ruang
Pelayanan Khusus (RPK) dibentuk dengan tujuan untuk memberikan pelayanan dan
perlindungan khusus kepada perempuan dan anak yang menjadi saksi, korban dan /
atau tersangka yang ditangani di Ruang Pelayanan Khusus.
Kedudukan
RPK berada di lingkungan atau menjadi bagian dari ruang kerja UPPA. Personel
yang bertugas di RPK adalah anggota UPPA yang penugasannya ditunjuk secara
tetap atau bergiliran.
Mekanisme
pelaksanaan tugas / tata cara penanganan di RPK meliputi :
a.
Penerimaan Laporan
Polisi;
b.
Penyidikan
c.
Tahap akhir penyidikan.
Pengusutan ( Opsporing ) oleh KUHAP dikenal dengan
istilah penyidikan dan penyelidikan. Pengertian penyidikan dan penyelidikan,
diatur dalam Pasal 1 angka 2 dan angka 5 KUHAP. Adapun bunyi pasal tersebut
adalah sebagai berikut :
Pasal 1 angka 2 :
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal
dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana
yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Pasal 1 angka 5 :
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk
mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini.
Dengan demikian fungsi penyelidikan adalah suatu kegiatan
yang dilaksanakan sebelum dilakukannya penyidikan guna memastikan kebenaran
suatu peristiwa bahwa tindak pidana tersebut adalah benar-benar merupakan suatu
tindak pidana.
Penyidikan terhadap anak yang melakukan tindak pidana
atau anak yang berhadapan dengan hukum, diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997. Adapun bunyi pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut :
Pasal 41 :
(1). Penyidikan
terhadap Anak Nakal, dilakukan oleh Penyidik yang ditetapkan berdasarkan Surat
Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk
oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia.
(2). Syarat-syarat
untuk dapat ditetapkan sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
adalah :
a. Telah berpengalaman
sebagai penyidik tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa;
b. Mempunyai minat,
perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak.
(3). Dalam
hal tertentu dan dipandang perlu, tugas penyidikan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dapat dibebankan kepada :
a.
Penyidik yang melakukan tugas penyidikan bagi tindak
pidana yang dilakukan oleh orang dewasa; atau
b.
Penyidik lain yang ditetapkan berdasarkan ketentuan
undang-undang yang berlaku.
Adapun latar belakang fungsi peyelidikan adalah untuk
melindungi dan jaminan terhadap hak azasi manusia. Di dalam Hukum Acara Pidana
yang dimaksud pejabat kepolisian adalah tidak semua anggota kepolisian secara
umum ( Polri ) dapat menjadi penyidik perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
41 ayat (2) di atas.
Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa antara
KUHAP dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
memiliki suatu hubungan yang erat berkenaan dengan penyidikan tindak
pidana anak dimana KUHAP tetap mengatur tentang tata cara melakukan penyidikan
dan diperluas atau diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997.
Wewenang
penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP yaitu :
- Menerima
laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
- Melakukan
tindakan pertama pada saat ditempat kejadian;
- Menyuruh
berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
- Melakukan
Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
- Melakukan
pemeriksaan dan penyitaan surat;
- Mengambil
sidik jari dan memotret seorang;
- Memanggil
orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
- Mendatangkan
orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
- Mengadakan
penghentian penyidikan;
- Mengadakan
tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Selain
penyelidik dan penyidik, KUHAP juga mengenal penyidik pembantu sebagaimana diatur
dalam Pasal 1 angka (3) dan Pasal 10
angka (1) dan (2) KUHAP. Adapun bunyi pasal tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Pasal 1 angka (3) :
Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara
Republik Indonesia yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas
penyidikan yang diatur dalam undang-undang ini.
2.
Pasal 10 :
(1).
Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara
Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala kepolisian negara Republik
Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dalam ayat (2) pasal ini.
(2).
Syarat kepangkatan sebagaimana tersebut pada ayat (1)
diatur dengan peraturan pemerintah.
Mengenai
wewenang antara penyidik dengan penyidik pembantu, menurut Pasal 11 KUHAP sama
dengan penyidik POLRI seperti yang tercantum dalam Pasal 7 butir ( 1 ) KUHAP
kecuali mengenai penahanan. Kemudian dalam penjelasan Pasal 11 KUHAP disebutkan
bahwa : Pelimpahan wewenang penahanan kepada penyidik pembantu hanya diberikan
apabila perintah dari penyidik tidak dimungkinkan karena hal dan dalam keadaan
yang sangat diperlukan dimana terdapat hambatan perhubungan didaerah terpencil
atau ditempat yang belum ada petugas penyidik dan atau dalam hal lain yang
dapat diterima menurut kewajaran.
Lebih lanjut dalam Pasal 42
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 disebutkan bahwa :
(1). Penyidik
wajib memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan.
(2). Dalam
melakukan penyidikan terhadap Anak Nakal, Penyidik wajib meminta pertimbangan
atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan, dan apabila perlu juga dapat meminta
pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama,
atau petugas kemasyarakatan lainnya.
(3). Proses
penyidikan terhadap perkara Anak Nakal wajib dirahasiakan.
Pejabat yang berwenang untuk melakukan penyelidikan dan
penyidikan diatur dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 KUHAP. Adapun bunyi pasal
tersebut adalah sebagai berikut :
Pasal 1
angka 1 :
Penyidik
adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri
sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan
penyidikan.
Pasal 1
angka 4 :
Penyelidik
adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh
undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.
Penyidikan dimulai setelah terjadi tindak pidana dan
penyidikan dilakukan untuk mendapatkan keterangan-keterangan tentang :
- Tindak pidana yang telah
dilakukan;
- Kapan
tindak pidana itu dilakukan;
- Dengan
apa tindak pidana itu dilakukan;
- Bagaimana
tindak pidana itu dilakukan;
- Mengapa
tindak pidana itu dilakukan; dan
- Siapa
pelakunya.
Selanjutnya
yang disebut penyelidik sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 KUHAP
adalah : Pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan
penyidikan, kemudian dalam Pasal 4 KUHAP disebutkan bahwa penyelidik adalah :
setiap Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
”Sedangkan yang disebut penyidik disebutkan dalam Pasal
12 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 dinyatakan bahwa penyidik dilakukan oleh
pejabat-pejabat kepolisian tertentu yang selanjutnya diatur oleh peraturan
menteri. Dalam Pasal 6 ( enam ) KUHAP dijelaskan bahwa :
1.
Penyidik adalah :
a. Pejabat
Polisi Negara Republik Indonesia.
b. Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
2.
Syarat kepangkatan pejabat sebagai mana yang dimaksud
dalam butir 1 akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah”.[9]
[1]
http://www.kpai.go.id.
[2]
Syamsu Yusuf LN, Mental Hygienne
Kajian Psikologi dan Agama, Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan
Fakultas Pendidikan UPI, Bandung, 2003, hal 34
[4] Hasan Maulana Wadong, Pengantar Advokasi Dan
Perlindungan Anak, Grasindo, Jakarta, 2000, hal. 1.
[5] Hassan, Kumpulan Soal Tanya Jawab Tentang Berbagai
Masalah Agama, Diponegoro, Bandung, 1983, hal. 519.
[6] B.
Simandjuntak, Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial, Tarsito,
Bandung, 1981, Hal. 154.
[7] Romli Atmasasmita, Problem Kenakalan Anak-Anak atau Remaja ( Yuridis
Sosio Kriminologis ), Armico, Bandung, 1983, Hal. 58.
[8] Sri
Widoyanti, Anak dan Wanita Dalam Hukum, Pradya Paramita, Jakarta, 1984,
Hal. 34.
[9] Nurul Afiah, Praperadilan dan Ruang Lingkupnya, Pradya Paramita,
Jakarta, 1987, Hal. 5.
Halo Bos! Selamat Datang di ArenaDomino.com
BalasHapusArenadomino Situs Judi online terpercaya | Dominoqq | Poker online
Daftar Arenadomino, Link Alternatif Arenadomino Agen Poker dan Domino Judi Online Terpercaya Di Asia
Daftar Dan Mainkan Sekarang Juga 1 ID Untuk Semua Game
ArenaDomino Merupakan Salah Satu Situs Terbesar Yang Menyediakan 9 Permainan Judi Online Seperti Domino Online Poker Indonesia,AduQQ & Masih Banyak Lain nya,Disini Anda Akan Nyaman Bermain :)
Game Terbaru : Perang Baccarat !!!
Kini Hadir Deposit via Pulsa Telkomsel / XL ( Online 24 Jam )
Min. DEPO & WD Rp 20.000,-
Wa :+855964967353
Line : arena_01
WeChat : arenadomino
Yahoo! : arenadomino
INFO PENTING !!!
Untuk Kenyamanan Deposit, SANGAT DISARANKAN Untuk Melihat Kembali Rekening Kami Yang Aktif Sebelum Melakukan DEPOSIT di Menu SETOR DANA.